Thursday, July 25, 2013

Guess what

Berjalan-jalan ke pasar tradisional, selain berbelanja juga merupakan tempat wisata menarik bagi saya. Ini adalah foto-foto yang saya ambil pada tahun 2012 di Lampung :)












Monday, June 24, 2013

Lakon Wanitapria

Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah kategori-kategori, lalu mengamininya

Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55 kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya, seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut wajahnya. “saya ikhlas.”  Ujar Wanitapria lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?” saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5 tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun. Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.




Sunday, June 16, 2013

Take picture and smile

Foto ini udah lama banget diambil. Tepatnya tahun 2011.
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!








Tuesday, June 11, 2013

Lokasi Pre Wedding yang Murah

Lagi nyari lokasi prewed yang murah dan banyak alternatif? Mungkin teman-teman bisa coba Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini beberapa hasil prewed di TMII: 







Children Photography (Tips)

Motret anak-anak kadang jadi susah susah gampang. Baru mau motret, eeh si anak gerak sana sini. Belum lagi alat hanya seadanya (no lighting padahal mau indoor). Hehe. Nah, ada beberapa tips nih. Moga membantu ya :) 

(a) Kalau bisa setting manual di kamera digital, gunakan speed yang lebih cepat. Tapi kalau repot, pake automatic juga gak apa-apa.

(b) Sebisa mungkin pencahayaan cukup. Meskipun gak punya lighting, tapi sebisa mungkin cahaya lampu memadai 

(c) Gunakan size foto yang paling besar dan kalau bisa RAW (biar ngeditnya lebih terlihat halus nanti. Kalau automatic make L juga gak apa-apa)

(d) Arahkan si kecil sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari. Seperti: "katakan haloooo" atau "tunjuk, mana cicaknya??" 

(e) Satu kali jepret gak bakal langsung bisa menghasilkan foto yang sempurna. Jadi terus saja jepret :)

(f) Terakhir, foto diedit dengan bentuk-bentuk lucu sesuai selera.

Selamat mencoba!  










Wednesday, May 22, 2013

Berbagai pengalaman, berbagi ilmu


“gimana kalo kita umroh nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil (usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok bu Faizah.

sepulang dari umroh dan akhirnya bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya jabatan dan kuatan.

Hidup sangat berkecukupan tapi tetap merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya dalam memandang hidup.  

Thursday, April 4, 2013

Be happy :)

Sebentar lagi, kedua sahabatku Dianty dan Deddy akan menikah.
Waaaaah, senang sekali gue bisa motret prewed  mereka
(Sebenernya foto ini gak dipajang di gedung, gue edit iseng aja. Hehe)

Jadi, dianty deddy ini udah pacaran semenjak kelas 1 SMA dan hal yang paling mengharukan adalah saat Deddy mau melamar Dianty. Waktu itu, anak-anak lagi ngumpul dan berencana untuk karokean. Pas banget lagu kedua, Deddy nyanyiin lagu buat Dianty disusul sama lagunya Bruno Mars - Marry You. So sweet banget deh mereka :')



Happy Wedding Dianty & Deddy
(yang akan berlangsung dalam hitungan minggu lagi...hehe)

Semoga kalian menjadi keluarga yang terus diberkahi dan penuh kasih sayang


Capture (2)

Photo, photo, and photo agaiiiin :D
I just take photo with my lovely tripod. Enjoy !






Tuesday, March 5, 2013

Capture (1)

I take a lot of picture from Lampung which is located in Sumatra - Indonesia. Hope you like it and enjoy :)







Ketika rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas


“alat rekam menjadi saksi bisu antara saya dan dia..”

Kali ini saya ingin sharing tentang pengalaman pribadi selama melakukan penelitian terhadap waria remaja di Jakarta. Sedikit cerita, saya akan menceritakan dua orang waria yang membuat perasaan saya tersentuh bahkan terharu. Semoga kisah ini dapat menginspirasi para pembaca sekalian.

            Terik menyengat, siang itu sekitar pukul 13.05 siang saya berdiri di depan gang sekitar Buncit. Tak lama setelah turun dari metromini saya segera menghubungi Yolanda untuk memberitahu bahwa saya telah tiba di depan gang rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan kos-kosan yang ia tinggali bersama tiga orang teman waria lainnya. Yolanda adalah seorang waria remaja yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen daerah Jakarta Selatan. Ia dikenal sebagai waria yang ramah karena pembawaannya yang sering bercanda. Kerap kali ia membari goyonan yang saya sendiri pun tak kuat menahan tawa. Sekitar 15 menit setelah saya menghubungimnya, akhirnya Yolanda datang juga. Ia mengenakan kemeja garis hitam putih dan celana hitam. Rambutnya yang sepanjang bahu dibiarkan terurai (lebih tepatnya rambut palsu). Saat melihat saya, ia terheran-heran karena saya datang hanya seorang diri. Yah, jelas saja saya sendiri berhubung penelitian yang saya kerjakan saat ini untuk skripsi. Lagipula, teman-teman yang lain juga memiliki kesibukan masing-masing. Pada akhirnya, mesti mandiri untuk mengerjakan penelitian ini. Ya toh?
            “say, kok sendirian?” Yolanda celingak celinguk bingung.
            “ya nggak apa-apa, sendirian aja. Temen aku yang lain pada sibuk.” Saya hanya tersenyum manis kepadanya. Mungkin Yolanda heran, apa saya tidak takut untuk datang sendirian.
            “udah makan? Kamu sukanya makan apa?” tanya Yolanda sembari masuk ke dalam gang.
            “udah, nggak usah repot-repot. Nanti aja say”
            “jauh-jauh kamu dateng ke mari. Makan dulu lah.” Yolanda masih memaksa.
Tak lama kemudian, Yolanda berhenti di depan warung Padang yang ada di dalam gang. Sepertinya ia sudah akrab dengan mas-mas penjual nasi Padang. Kerap kali saya menolak, tapi Yolanda bersikeras untuk membungkus makanan. Ketika akan membayar ke mas-mas nasi Padang, saya berniat untuk membayar dan mengeluarkan uang. Tapi langsung ditolak oleh Yolanda.
            “udah say, aku yang bayar.”
            “nggak usah lah, aku aja yang bayar” saya berusaha untuk membayar nasi Padang tersebut.
Pada akhirnya, Yolanda membayar nasi Padang untuk makan siang saya. Saya ingat betul, ia mengeluarkan uang receh seribu-dua ribu untuk membayar makanan tersebut. Ya, uang itu pasti uang hasil ngamennya. Sungguh tidak tega rasanya. Bukan karena gengsi, makan siang saya dibayarkan oleh seorang pengamen, tetapi saya sungguh tersentuh. Bagaimana mungkin orang yang masih berpikir besok akan makan apa, masih sempat membayarkan saya makan siang.

Satu bulan kemudian, saya bertemu janji dengan waria yang lain. Kali ini, waria remaja yang akan saya wawancara adalah waria yang berprofesi sebagai pekerja seks, namanya Alexis. Dari segi penampilan, dirinya lebih cantik dari saya (hahaha). Pertama tiba, ia mengajak saya untuk membeli buah. Buah tersebut ia beli dengan uang pribadi (yang pada akhirnya saya baru sadar, ternyata buah tersebut untuk saya cicip ketika wawancara nanti). Saat tiba di tempat perjanjian, saya mengatakan kepadanya bahwa saya lebih memilih untuk melakukan wawancara di kosannya saja. Tapi ia menolak dan mengajak saya ke salon tempat kenalannya. Dari tempat perjanjian menuju salon, kami harus naik bajaj dan saat akan turun, Alexis bersikeras untuk membayar bajaj.  Ketika sampai di salon, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut tidak ingin direkam. Saya pribadi merasa kebingungan untuk meyakinkannya. Namun pada akhirnya, ia memperkenalkan saya dengan seorang waria lain dan waria tersebut bersedia diwawancara. Meski demikian, saya tetap menghargai Alexis yang tidak ingin diwawancara.
Ketika saya berpamitan pulang, Alexis memberi saya uang transport (biaya naik bajaj sampai stasiun) tapi saya menolak. Saya bingung, mengapa sampai transport saya harus dibayarkan. Berkali-kali saya menolak tapi Alexis tetap ingin memberi saya uang tersebut yang akhirnya ia paksakan dengan memasukkan uang tersebut ke dalam tas. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran Alexis yang dihabiskan karena kedatangan saya sekitar 20rb lebih. Memang bukan jumlah yang besar bagi kita, tapi tidak bagi mereka.
Selama perjalanan pulang di dalam bajaj saya termenung. Kalau dibilang hubungan saya akrab dengan Alexis, ya tidak juga. Hubungan kami sebatas kenal di mana saya adalah mahasiswi yang sedang melakukan penelitian dan dia seorang waria remaja yang bertempat tinggal daerah Jak-Sel. Cuma itu. Tetapi rasa memberi tanpa keterpaksaan dan diterimanya saya sebagai seorang teman baginya adalah sesuatu yang sangat berarti.
Ya, mari kita terpikir sejenak. Berapa banyak dari kita yang memandang waria sebelah mata? Berapa banyak dari kita yang sering mendengar waria dihina dan disakiti baik secara fisik maupun psikis? Seberapa sering telinga kita mendengar seorang waria yang diteriaki dengan Banci!!!! Banci!!! Hingga dicemooh layaknya sampah?  
Sungguh tak pernah hadir di benak saya, suatu hari nanti saya akan ditraktir makan siang oleh waria pengamen. Tak pernah terlintas di pikiran saya, akan diberikan biaya transportasi untuk pulang yang bahkan saya bisa pulang tanpa uang tersebut.
Sungguh luar biasa, dikala rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas...

Thursday, February 21, 2013

Bersepeda bersama hujan

Sore ini lucu sekali, dua keponakan saya bermain dengan senangnya. Mereka keluar rumah meski cuaca mendung. Memang langit sedari tadi "menggalau" dengan arah yang tak jelas. Kadang terik, namun beberapa menit kemudian jadi mendung total.

Elysia yang sangat bersemangat menggunakan jas hujan segera keluar dan bermain sepeda. Lengkap dengan sepatu boot nya. Lalu Alya yang gak make apa-apa sontak ikutan keluar dan minta dibonceng.

Belum lagi anak tetangga yang sibuk main di teras rumahnya.
Ada-ada aja tingkah anak kecil yang bikin gemes. Haha.

Tetap sepedaan di tengah tetangga yang mandi depan teras
Alya membuat tarian hujan saat melihat rerintikan air jatuh dari awan
This is my rain style. How about you?
Alya meluk kakaknya tanpa ekspresi

Wednesday, February 13, 2013

Trying Levitasi

"Sebuah kesuksesan berawal dari keteguhan, ketekunan, dan berlatih"

Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti lomba foto dengan tema levitasi. Jadi, levitasi itu memang berbeda dengan "jump shoot". Levitasi bermakna: Foto yang seakan-akan melayang. Yah, seperti itulah kurang lebih. Saat ingin mengikuti lomba tersebut, saya mulai berlatih dengan menjadikan teman sebagai model. 

Tapi sayangnya, setelah penjurian saya tidak menang sodara sodari! hehehe. Banyak foto lain yang lebih keren pastinya. Sedikit timbul kekecewaan dalam benak saya. Karena pemenangnya itu hasil editan levitasi (modelnya gak beneran melayang) dan backgroundnya juga bukan asli. Hasil studio dengan model tentunya (modelnya cantik cyiin). Mungkin karena tujuannya buat advertisement kali yaaa. Jadi emang bener-bener musti rapih.  Yoosh, tetep semangat lah :) 

Berikut foto-foto hasil berlatih saya:








Wednesday, February 6, 2013

Belajar dari sebuah kehilangan



“kehilangan seseorang seperti kehilangan tangan yang sebelah. Seperti kurang lengkap”

Bulan lalu, tepatnya tanggal  23 Januari saya berkesempatan untuk melakukan presentasi bersama teman-teman lainnya di hotel FM7 yang tak jauh (bahkan sangat dekat) dari bandara Soekarno-Hatta. Di sana, saya dan ketiga teman yang berada di bawah naungan pembimbing mempresentasikan hasil sementara penelitian skripsi.  ya, setidaknya kami sempat dag-dig-dug juga. Karena merasa penelitian sementara masih sangat dangkal. Apalagi presentasinya di depan para professor. Sebut saja, guru besar dari universitas Amsterdam (sebut saja Bu Prof Amsterdam), serta prof dari Univ.Hasanuddin Makassar.


"Susana Hotel FM7"
Foto diperoleh dari:
http://www.hotels.com/ho324660/fm7-resort-hotel-jakarta-indonesia/


Presentasi ini dilatarbelakangi oleh si Bu Prof Amsterdam yang sedang melakukan penelitian di lima negara. Penelitian dapat dikatakan sebagai penelitian yang cukup besar karena juga didanai oleh negara kincir angin itu. So far, keren abis lah si Bu Prof Amsterdam bisa nembus proyeknya untuk didanai negara. Mengingat penelitian ini masih jarang dilakukan (antropologi medis), maka Bu Prof Amsterdam dan Makassar ingin melihat sejauh mana hasil yang sudah kami peroleh dalam penelitian. Saya dan ketiga teman lain memiliki objek yang berbeda. Ada yang meneliti tentang waria, pelajar akademi, penjaja seks, maupun pekerja salon.
Presentasi yang kami pikirkan “formal dan menegangkan” ternyata seperti diskusi biasa saja. Ketika kami tiba di hotel, kami memasuki ruangan rapat yang sudah disiapkan proyektor. Nuansa ruangan juga sangat “nyaman”. Nyaman yang saya maksud di sini adalah: format kursi letter U, AC dingin mantap, makanan terus merayap satu persatu memasuki ruangan. Pokoknya TOP BGT deh. Suasana diskusi sangat menyenangkan. Kami memprestasikan hasil penelitian masing-masing dan mendapatkan masukan dari para Prof tersebut. Oh ya, saya lupa menyisipkan tokoh lain. Dalam ruangan tersebut juga ada pembimbing skripsi dan salah satu dosen dari Sosiologi yang ingin melanjutkan post doktoral di Malaysia.

Presentasi sempat di potong pada jam istirahat. Kami makan siang bersama di restoran hotel. Apa rasanya makan semeja bersama para peneliti. Saya sendiri tidak terbayang duduk makan bersama mereka serta mendengarkan obrolan satu dengan yang lain. Saya lebih banyak diam dan berbincang bersama dosen pembimbing. Mengingat belum akrab dengan para bu Prof. Paling, saya hanya bertanya terkait penelitian yang dilakukan Bu Prof Amsterdam. Ia mengatakan bahwa sedang mencari tambahan peneliti karena memang penelitian yang dilakukan adalah jangka panjang. “And you must prove your English”  begitu katanya menutup perbincangan sambil tersenyum ramah.

Pukul 16.00 sore. Kami berempat pulang dan ikut bersama si dosen Sosio. Kebetulan beliau bawa mobil dan pulang arah srengseng. Saat masuk mobil, saya membuka pembicaraan. Mulai dari kegiatan penelitian saat ini dan studi apa saja yang telah beliau raih. Dulunya Bu Dosen ini (sebut saja begitu) S1 di Sosio.  Lanjut S2 dan S3 di Amsterdam melalui beasiswa. Saat ini berencana untuk ambil post doktoral di Malaysia akhir bulan Januari. Kalo dilihat-lihat dari face nya sih mungkin beliau saat ini berusia 40-an tahun. Tapi mukanya masih keliatan muda kok. Selama perjalanan, Bu Dosen banyak sharing pengalaman. Dulunya, tema skripsinya tentang keputihan pada kalangan PSK di bawah umur.

"Sebuah rintik dalam jiwa yang rintih"
Foto diperoleh dari: vgladding.blogspot.com


Cerita lanjut cerita, kami bercerita tentang Bu Prof dari Amsterdam. Ternyata suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dari pernikahannya tersebut dikaruniai satu orang anak.  Saat ini Bu Prof Amsterdam sibuk melakukan penelitian kesana kemari. Anaknya sih mungkin udah mandiri kali ya ditinggal mama nya. Kalau dipikir-pikir, Bu Prof Amsterdam ternyata punya memori “kehilangan” di balik wajah ramahnya. Tak lama kemudian, teman-teman saya yang lain turun dari mobil. Sisa saya yang terakhir duduk menumpang. Saya pun menceritakan tante teman saya yang suaminya meninggal beberapa minggu setelah menikah. Kemudian, suasana agak hening. Saat Bu Dosen yang menyetir memandang ke depan dan mengatakan dengan santai .

“suami saya juga sudah meninggal dua tahun yang lalu”. Ia tak terlihat sedih. Perbincangan ini seperti diskusi santai di tengah keheningan mobil yang terus melaju dalam gerimis yang terus menurus.
“suami saya kena serangan jantung. Gak lama setelah naik sepeda. Kami pacarannya lama, 16 tahun. Ya pacarannya lama soalnya agak susah juga ya, beda agama kita. Lucunya, pacaran 16 tahun, nikahnya baru 5 tahun. Temen-temen saya suka ngeledek gitu.” Saya terdiam.

"sebuah memori dalam hujan yang gerimis"
Foto diperoleh dari: lifehacker.com 

 “sekarang saya tinggal sama ponakan aja. saya gak punya anak. Nikah juga telat kan, 37 tahun.” Saya cuman bisa ngangguk melihatnya dari belakang terus mengemudi dalam kondisi santai. Saya tak tahu betul, ia santai dalam sedih atau bagaimana.

“suami saya meninggal pas ketika saya mau sidang S3 di Belanda. Sempat bingung juga harus lanjut atau nggak. Tapi saya punya dua pilihan, sedih mengenang suami saya atau terus maju dan selesaikan S3 yang sebentar lagi. Selama di sana saya fokus untuk selesaikan. Baru deh, setelah semua selesai berasa dia udah nggak ada. Berasa tadi malam baru planing ini itu, besoknya dia udah meninggal.”

Saya tidak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya hanya terbengong-bengong melihat Bu Dosen yang nampak tangguh di balik stir.

Saya pun berucap: “saya salut dengan orang-orang yang tangguh yang terus bergerak dan move on meski telah kehilangan pasangan hidup. Jujur, saya salut.”
Mobil terus melaju di tengah keheningan antara saya dan Bu Dosen. Hanya gerimis yang berdiskusi. Bernyanyi kecil. Menemani kami di tengah bisu dan haru.

Ya, banyak di antara kita yang pernah merasakan kehilangan. Tapi tidak banyak darinya yang mau untuk move on, berjalan, dan terus meraih cita dan harap. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kehilangan seorang suami bisa begitu tangguh untuk langsung terbang ke Belanda dan menyelesaikan S3? Lagi-lagi, si tangguhlah yang sanggup untuk terus melangkah bahkan berlari. Tak berlarut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Tapi terus melaju menerima dan menggapai. Apakah Anda termasuk dalam bagiannya?

Thursday, December 13, 2012

Bedah Buku Bersama Merlyn Sopjan


"Betapa hebatnya Tuhan memberikan mata ini untuk melihat banyak keindahan. Itu artinya, Tuhan menyuruh kita untuk melihat perbedaan-perbedaan itu. Lalu mengapa hari ini kita mematikan fungsi dari mata kita sendiri. Mematikan akal kita untuk melihat satu hal saja dan tidak melihat yang lain?”

Begitulah salah satu kutipan yang saya peroleh saat Merlyn Sopjan (Miss Waria Indonesia 2006) menjelaskan latar belakang  puisi yang ia buat dalam buku keduanya berjudul “Jangan (hanya) lihat kelaminku”. Saat itu saya bungkam dan berpikir. Betapa kita, seorang manusia sungguh naif untuk membatasi pikiran kita dalam kotak yang kaku dan tertutup rapat luar biasa. Kita, manusia, cenderung memaknai hal diluar kotak menjadi sesuatu yang ANEH, BURUK, dan MENJIJIKKAN.  
“hari ini, saya menghargai Anda, sebagai seorang individu. Bukan karena sebuah mayoritas. Lalu mengapa, Anda tidak bisa menghargai saya?”
Lontaran tersebut nampak bahwa “kaum di luar garis normal” betul-betul “diperkosa” hasratnya, jiwanya, dan hak nya.
Kita tahu betul, bahwa kaum LGBT belum total diterima oleh masyarakat dan negara kita. Tidak sedikit pula dari masyarakat maupun aparat melakukan kekerasan terhadap kaum tersebut. Kekerasan yang saya maksud di sini bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga psikis. Norma masih menjadi landasan utama bagi masyarakat untuk melakukan tindakan dalam hidup. Tapi, bukan berarti kita menginjak-injak hak orang lain. Bukan berarti kita melakukan “pemerkosaan” terhadap jiwa mereka. Justru kaum merekalah yang sanggup MENERIMA PERBEDAAN. Justru kaum merekalah yang dapat menerima dengan tangan terbuka terhadap KERAGAMAN yang ada. Lalu kita, hanyalah seonggok penonton yang tahu menghina dan berkomentar.


Foto diperoleh dari: http://www.ourvoice.or.id

Foto diperoleh dari: http://www.ourvoice.or.id


Berikut adalah kutipan yang saya peroleh dari Facebook mbak Merlyn Sopjan sekaligus menjadi penutup saat launching buku tersebut. Puisi ini juga ada di dalam buku pertamanya, “Perempuan tanpa V”.

Ketika akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima diri sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan, yang kemudian lahir adalah rasa yang begitu melegakan.
Ketika tumbuh menjadi satu pribadi unik, kita melewati hidup dan belajar menghargai keunikan orang lain. Dari situ kita akan menghargai keragaman ciptaan Tuhan.
Hampir separuh hidup saya, saya telah bisa menerima diri saya seperti adanya. Dengan penerimaan itu saya berusaha menghargai ketidak sempurnaan yang saya miliki. Saya tidak akan pernah menjadi sempurna. Tak akan pernah. Karena saya hanyalah seorang manusia. Yang terlahir dengan keterbatasan. Yang saya inginkan hanyalah bisa tumbuh, agar saya bisa mensyukuri segala hal yang saya dapat.

Saya masih mempercayai sebuah naluri. Bahwa suatu saat yang tepat, saya akan tau jawaban yang benar akan segala pertanyaan dalam hidup saya. Saya juga masih percaya, bahwa tidak salah untuk tidak tau segala hal. Karena Ke Maha MisterianNYA tetaplah Esa.
Tempat dimana saya ada sekarang adalah tempat yang sudah membuat saya bahagia. Masa lalu saya adalah sahabat terbaik saya hari ini. Masa lalu juga yang membawa saya sampai ke tempat dimana sekarang saya ada. Menjadi pribadi yang kuat dan lebih menghargai hidup.
Saya akan memilih tinggal dalam realita kehidupan yang sekarang saya jalani. Menjadi diri saya sendiri. Menjadi seseorang sesuai langkah membawa saya. Bukan untuk terombang ambing. Tapi untuk membuka hati merasakan keindahan hidup ini dalam pahit dan manisnya. Karena merasakan sukacita akan jadi sempurna ketika sebelumnya rasa sakit telah kita akrabi.
Hari ini, saya melepaskan segala keinginan saya dan memberi Tuhan satu ruang untuk melakukan pekerjaanNYA atas hidup saya. Saya adalah Merlyn. Dan saya seorang Waria yang akan terus bangga dengan keunikan saya.


Menghargai PLURALITAS, tidak hanya terbatas pada SARA. Tetapi juga terhadap keberagaman orientasi seksual seseorang, yakni pada kaum  LGBT.

Sunday, November 11, 2012

Normal: Bagiku, bagimu?

Ada kalanya saya berpikir, sesuatu yang normal layaknya keseharian yang saya jalani. Seperti interaksi dengan orang lain maupun lingkungan baru. Datang berkenalan dan berbincang dengan memulai sesuatu yang ringan. Namun terkadang, hal yang bagi kita normal bisa saja dianggap aneh atau janggal dimata orang lain. Lagi-lagi, kita harus belajar untuk melihat dua sisi dari cara pandang yang berbeda.

Baru beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi sebuah tempat yang nanti akan saya jadikan lokasi skripsi. Tempat itu merupakan tempat yang dijadikan wadah diskusi pada salah satu kalangan. Pemilik organisasi tersebut merupakan kenalan dari dosen saya. Tentu saja, melalui link tersebut saya memperoleh kontak si pemilik organisasi. Berhubung skripsi baru akan digarap tahun depan, saya sudah mulai untuk melakukan pendekatan terhadap informan terlebih dahulu untuk membangun "rapport". Pertama kali saya kesana, saya mengatakan kepada pemilik organisasi bahwa saya akan melakukan penelitian dan untuk saat ini ingin datang berkunjung dahulu.

Hari berikutnya, saya datang bersama seorang rekan untuk datang berkunjung. Kebetulan di sana sedang diadakan kegiatan diskusi. Saya datang sekitar pukul 11 siang di mana kegiatan tengah berlangsung. Di ruangan tengah sedang diadakan kelompok diskusi yang terdiri dari 4 kelompok. Saya datang dan bertemu dengan si pemilik organisasi. Ia mengatakan kepada saya untuk bergabung saja di ruang tengah. Mungkin saya yang salah tangkap atau bagaimana, dengan statement tersebut saya langsung saja bergabung dan berbincang dengan salah satu kelompok. Saya memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksud dan tujuan saya ke sana. Sampai akhirnya waktu istirahat, saya melanjutkan pembicaraan kepada beberapa orang dan berbincang layaknya orang yang mulai akrab.

Beberapa jam di tengah kegiatan, saya izin keluar untuk beribadah. Setelah selesai dan ingin masuk ke dalam ruangan, salah seorang panitia dari kegiatan datang menghampri saya dan mengajak untuk berbincang. Saat itu ia mengatakan bahwa di tengah kegiatan berlangsung saya datang begitu saja dan masuk ke dalam kelompok. Saat di tengah kegiatan saya juga sempat keluar dan dikhawatirkan mengganggu konsentrasi peserta. Istilahnya, saya juga terlihat "sok kenal sok dekat" dengan beberapa orang yang berada di dalam kelompok diskusi. Kasarnya, saya datang begitu saja tanpa surat izin dari fakultas dan masuk ke dalam kelompok. Setidaknya, saya diingatkan untuk tetap mengingat norma dan sopan santun saat masuk ke dalam lingkungan yang baru.

Saat itu, saya tersentak. Menurut saya sangatlah normal untuk melakukan interaksi seperti itu. Datang berkenalan dan masuk ke dalam kelompok. Namun ternyata ada pandangan yang lain, bahwa saya adalah seorang yang baru datang dan tanpa ada aba-aba masuk ke dalam. Apa yang menurut kita sudah sopan, sudah normal, belum tentu sama dengan pandangan orang lain. Sungguh nilai-nilai tersebut relatif maknanya. Sebab itulah, kita perlu banyak belajar dan melihat sebuah kondisi. Apa yang bagi kita normal, belum tentu sama di mata orang lain. Begitu juga Anda kan?

 

Sunday, November 4, 2012

Mencari Rasa yang ke-100

Beberapa minggu belakangan ini, teman-teman yang saya sayangi bermunculan hadir dengan cerita yang sama. Mungkin secara kebetulan, atau entah apa. Berturut-turut saya mendapat sebuah benang merah, dengan cerita dari masing-masing pihak yang beragam. Benang merahnya, tidak lain adalah "putus cinta". Terdengar menggalau atau pasaran di antara kita semua, bahkan bagi orang yang sedang membaca tulisan ini. Tapi saya ingin sekedar "sharing" dan mengungkapkan apa yang saya rasa dan pikirkan.

Adalah sebuah kesamaan antara orang yang jatuh dan sakit cinta. Keduanya adalah BUTA. Seseorang yang demikian sayangnya, akan tertutupi dari rasa yang benar-benar sakit. Partner adalah sosok sempurna di mata. Sebaliknya, seseorang yang sedang merasakan sakit, akan benar-benar buta merasa menjadi orang paling menderita, sial, ataupun apes. Tak jarang pula saya bertemu dengan orang yang mengasihani dirinya karena merasa sakit akan hubungan yang dijalani. Misalnya, "kasian ya gw". Meskipun terdengar ringan, tapi secara implisit menunjukkan bahwa kita sedang mengasihani diri sendiri.

Taukah kita? Bahwa rasa sakit dan senang adalah rasa yang dibuat oleh diri kita sendiri?
Tahukah kita? Bahwa rasa bahagia adalah kita yang menciptakannya?
Tak banyak dari kita, mungkin saya, ataupun Anda yang membaca tulisan ini, menyalahkan orang lain karena merasa sakit ataupun tidak bahagia. Sumber bahagia mengacu pada "setting mind". Bagaimana kita mengatur pola pikir kita sendiri untuk merasa bahagia. Orang lain hanyalah menjadi hingar bingar, sekedar lewat, seperti iklan - intermezzo. Sedangkan kita, adalah pemeran utama yang independen.

Ya, mencari rasa. Seperti halnya mencari partner sampai mendapat rasa yang pas dan klop. Pas rasa manis, asin, asam, pedas, dan segala macam rupanya. Komposisi terasa mantap di lidah dan ingin menetapkannya sebagai rasa yang cocok bagi Anda. Pada akhirnya, ketidaknyamanan dan kesenangan akan rasa-rasa, adalah sebuah "setting mind" yang bermain dalam kepala Anda sendiri.