Berjalan-jalan ke pasar tradisional, selain berbelanja juga merupakan tempat wisata menarik bagi saya. Ini adalah foto-foto yang saya ambil pada tahun 2012 di Lampung :)
Thursday, July 25, 2013
Monday, June 24, 2013
Lakon Wanitapria
Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah
kategori-kategori, lalu mengamininya
Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya
berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam
panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55
kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang
duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja
selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria
bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja
yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah
aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang
entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku
ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang
berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang
haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya,
seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap
mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut
wajahnya. “saya ikhlas.” Ujar Wanitapria
lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?”
saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang
dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk
mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan
seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara
saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya
bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan
perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu
betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5
tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa
asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti
dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama
saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu
adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi
keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria
tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan
ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut
saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal
saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat
saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya
terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi
laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat
menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada
dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun.
Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat
memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang
tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.
Sunday, June 16, 2013
Take picture and smile
Foto ini udah lama banget diambil. Tepatnya tahun 2011.
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Tuesday, June 11, 2013
Lokasi Pre Wedding yang Murah
Lagi nyari lokasi prewed yang murah dan banyak alternatif? Mungkin teman-teman bisa coba Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini beberapa hasil prewed di TMII:
Children Photography (Tips)
Motret anak-anak kadang jadi susah susah gampang. Baru mau motret, eeh si anak gerak sana sini. Belum lagi alat hanya seadanya (no lighting padahal mau indoor). Hehe. Nah, ada beberapa tips nih. Moga membantu ya :)
(a) Kalau bisa setting manual di kamera digital, gunakan speed yang lebih cepat. Tapi kalau repot, pake automatic juga gak apa-apa.
(b) Sebisa mungkin pencahayaan cukup. Meskipun gak punya lighting, tapi sebisa mungkin cahaya lampu memadai
(c) Gunakan size foto yang paling besar dan kalau bisa RAW (biar ngeditnya lebih terlihat halus nanti. Kalau automatic make L juga gak apa-apa)
(d) Arahkan si kecil sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari. Seperti: "katakan haloooo" atau "tunjuk, mana cicaknya??"
(e) Satu kali jepret gak bakal langsung bisa menghasilkan foto yang sempurna. Jadi terus saja jepret :)
(f) Terakhir, foto diedit dengan bentuk-bentuk lucu sesuai selera.
Selamat mencoba!
Wednesday, May 22, 2013
Berbagai pengalaman, berbagi ilmu
“gimana kalo kita umroh
nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh
tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua
kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar
untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat
menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh
semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin
seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir
saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya
berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut
ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah
namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si
pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil
(usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok
bu Faizah.
sepulang dari umroh dan akhirnya
bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk
bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak
hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang
pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita
tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit
pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran
dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali
beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat
ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras
berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi
mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis
alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan
semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang
menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal
daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin
saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan
diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil
nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang
bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya
jabatan dan kuatan.
Hidup sangat berkecukupan tapi tetap
merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang
berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang
orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena
merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul
seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai
hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah
di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta
namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang
dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada
pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya
dalam memandang hidup.
Thursday, April 4, 2013
Be happy :)
Sebentar lagi, kedua sahabatku Dianty dan Deddy akan menikah.
Waaaaah, senang sekali gue bisa motret prewed mereka
(Sebenernya foto ini gak dipajang di gedung, gue edit iseng aja. Hehe)
Jadi, dianty deddy ini udah pacaran semenjak kelas 1 SMA dan hal yang paling mengharukan adalah saat Deddy mau melamar Dianty. Waktu itu, anak-anak lagi ngumpul dan berencana untuk karokean. Pas banget lagu kedua, Deddy nyanyiin lagu buat Dianty disusul sama lagunya Bruno Mars - Marry You. So sweet banget deh mereka :')
Waaaaah, senang sekali gue bisa motret prewed mereka
(Sebenernya foto ini gak dipajang di gedung, gue edit iseng aja. Hehe)
Jadi, dianty deddy ini udah pacaran semenjak kelas 1 SMA dan hal yang paling mengharukan adalah saat Deddy mau melamar Dianty. Waktu itu, anak-anak lagi ngumpul dan berencana untuk karokean. Pas banget lagu kedua, Deddy nyanyiin lagu buat Dianty disusul sama lagunya Bruno Mars - Marry You. So sweet banget deh mereka :')
Happy Wedding Dianty & Deddy
(yang akan berlangsung dalam hitungan minggu lagi...hehe)
Semoga kalian menjadi keluarga yang terus diberkahi dan penuh kasih sayang
Tuesday, March 5, 2013
Capture (1)
I take a lot of picture from Lampung which is located in Sumatra - Indonesia. Hope you like it and enjoy :)
Ketika rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas
“alat rekam menjadi saksi bisu antara saya dan dia..” |
Kali ini saya ingin sharing
tentang pengalaman pribadi selama melakukan penelitian terhadap waria
remaja di Jakarta. Sedikit cerita, saya akan menceritakan dua orang waria yang membuat
perasaan saya tersentuh bahkan terharu. Semoga kisah ini dapat menginspirasi
para pembaca sekalian.
Terik menyengat,
siang itu sekitar pukul 13.05 siang saya berdiri di depan gang sekitar Buncit. Tak
lama setelah turun dari metromini saya segera menghubungi Yolanda untuk memberitahu
bahwa saya telah tiba di depan gang rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan
kos-kosan yang ia tinggali bersama tiga orang teman waria lainnya. Yolanda adalah
seorang waria remaja yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen daerah
Jakarta Selatan. Ia dikenal sebagai waria yang ramah karena pembawaannya yang
sering bercanda. Kerap kali ia membari goyonan
yang saya sendiri pun tak kuat menahan tawa. Sekitar 15 menit setelah saya
menghubungimnya, akhirnya Yolanda datang juga. Ia mengenakan kemeja garis hitam
putih dan celana hitam. Rambutnya yang sepanjang bahu dibiarkan terurai (lebih
tepatnya rambut palsu). Saat melihat saya, ia terheran-heran karena saya datang
hanya seorang diri. Yah, jelas saja saya sendiri berhubung penelitian yang saya
kerjakan saat ini untuk skripsi. Lagipula, teman-teman yang lain juga memiliki
kesibukan masing-masing. Pada akhirnya, mesti mandiri untuk mengerjakan
penelitian ini. Ya toh?
“say,
kok sendirian?” Yolanda celingak celinguk bingung.
“ya nggak
apa-apa, sendirian aja. Temen aku yang lain pada sibuk.” Saya hanya tersenyum
manis kepadanya. Mungkin Yolanda heran, apa saya tidak takut untuk datang
sendirian.
“udah
makan? Kamu sukanya makan apa?” tanya Yolanda sembari masuk ke dalam gang.
“udah,
nggak usah repot-repot. Nanti aja say”
“jauh-jauh
kamu dateng ke mari. Makan dulu lah.” Yolanda masih memaksa.
Tak lama kemudian, Yolanda berhenti di depan warung
Padang yang ada di dalam gang. Sepertinya ia sudah akrab dengan mas-mas penjual
nasi Padang. Kerap kali saya menolak, tapi Yolanda bersikeras untuk membungkus
makanan. Ketika akan membayar ke mas-mas nasi Padang, saya berniat untuk
membayar dan mengeluarkan uang. Tapi langsung ditolak oleh Yolanda.
“udah
say, aku yang bayar.”
“nggak
usah lah, aku aja yang bayar” saya berusaha untuk membayar nasi Padang
tersebut.
Pada akhirnya, Yolanda membayar nasi Padang untuk makan
siang saya. Saya ingat betul, ia mengeluarkan uang receh seribu-dua ribu untuk
membayar makanan tersebut. Ya, uang itu pasti uang hasil ngamennya. Sungguh tidak
tega rasanya. Bukan karena gengsi, makan siang saya dibayarkan oleh seorang
pengamen, tetapi saya sungguh tersentuh. Bagaimana mungkin orang yang masih
berpikir besok akan makan apa, masih sempat membayarkan saya makan siang.
Satu bulan
kemudian, saya bertemu janji dengan waria yang lain. Kali ini, waria remaja
yang akan saya wawancara adalah waria yang berprofesi sebagai pekerja seks,
namanya Alexis. Dari segi penampilan, dirinya lebih cantik dari saya (hahaha). Pertama
tiba, ia mengajak saya untuk membeli buah. Buah tersebut ia beli dengan uang
pribadi (yang pada akhirnya saya baru sadar, ternyata buah tersebut untuk saya
cicip ketika wawancara nanti). Saat tiba di tempat perjanjian, saya mengatakan
kepadanya bahwa saya lebih memilih untuk melakukan wawancara di kosannya saja. Tapi
ia menolak dan mengajak saya ke salon tempat kenalannya. Dari tempat perjanjian
menuju salon, kami harus naik bajaj dan saat akan turun, Alexis bersikeras
untuk membayar bajaj. Ketika sampai di
salon, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut tidak ingin direkam. Saya pribadi
merasa kebingungan untuk meyakinkannya. Namun pada akhirnya, ia memperkenalkan
saya dengan seorang waria lain dan waria tersebut bersedia diwawancara. Meski demikian,
saya tetap menghargai Alexis yang tidak ingin diwawancara.
Ketika saya
berpamitan pulang, Alexis memberi saya uang transport (biaya naik bajaj sampai
stasiun) tapi saya menolak. Saya bingung, mengapa sampai transport saya harus
dibayarkan. Berkali-kali saya menolak tapi Alexis tetap ingin memberi saya uang
tersebut yang akhirnya ia paksakan dengan memasukkan uang tersebut ke dalam
tas. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran Alexis yang dihabiskan karena
kedatangan saya sekitar 20rb lebih. Memang bukan jumlah yang besar bagi kita,
tapi tidak bagi mereka.
Selama
perjalanan pulang di dalam bajaj saya termenung. Kalau dibilang hubungan saya akrab
dengan Alexis, ya tidak juga. Hubungan kami sebatas kenal di mana saya adalah
mahasiswi yang sedang melakukan penelitian dan dia seorang waria remaja yang
bertempat tinggal daerah Jak-Sel. Cuma itu. Tetapi rasa memberi tanpa keterpaksaan
dan diterimanya saya sebagai seorang teman baginya adalah sesuatu yang sangat
berarti.
Ya, mari
kita terpikir sejenak. Berapa banyak dari kita yang memandang waria sebelah
mata? Berapa banyak dari kita yang sering mendengar waria dihina dan disakiti
baik secara fisik maupun psikis? Seberapa sering telinga kita mendengar seorang
waria yang diteriaki dengan Banci!!!! Banci!!!
Hingga dicemooh layaknya sampah?
Sungguh tak
pernah hadir di benak saya, suatu hari nanti saya akan ditraktir makan siang
oleh waria pengamen. Tak pernah terlintas di pikiran saya, akan diberikan biaya
transportasi untuk pulang yang bahkan saya bisa pulang tanpa uang tersebut.
Sungguh luar biasa, dikala rasa memberi dan saling
menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas...
Thursday, February 21, 2013
Bersepeda bersama hujan
Sore ini lucu sekali, dua keponakan saya bermain dengan senangnya. Mereka keluar rumah meski cuaca mendung. Memang langit sedari tadi "menggalau" dengan arah yang tak jelas. Kadang terik, namun beberapa menit kemudian jadi mendung total.
Elysia yang sangat bersemangat menggunakan jas hujan segera keluar dan bermain sepeda. Lengkap dengan sepatu boot nya. Lalu Alya yang gak make apa-apa sontak ikutan keluar dan minta dibonceng.
Belum lagi anak tetangga yang sibuk main di teras rumahnya.
Ada-ada aja tingkah anak kecil yang bikin gemes. Haha.
Elysia yang sangat bersemangat menggunakan jas hujan segera keluar dan bermain sepeda. Lengkap dengan sepatu boot nya. Lalu Alya yang gak make apa-apa sontak ikutan keluar dan minta dibonceng.
Belum lagi anak tetangga yang sibuk main di teras rumahnya.
Ada-ada aja tingkah anak kecil yang bikin gemes. Haha.
Tetap sepedaan di tengah tetangga yang mandi depan teras |
Alya membuat tarian hujan saat melihat rerintikan air jatuh dari awan |
![]() |
This is my rain style. How about you? |
![]() |
Alya meluk kakaknya tanpa ekspresi |
Wednesday, February 13, 2013
Trying Levitasi
"Sebuah kesuksesan berawal dari keteguhan, ketekunan, dan berlatih"
Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti lomba foto dengan tema levitasi. Jadi, levitasi itu memang berbeda dengan "jump shoot". Levitasi bermakna: Foto yang seakan-akan melayang. Yah, seperti itulah kurang lebih. Saat ingin mengikuti lomba tersebut, saya mulai berlatih dengan menjadikan teman sebagai model.
Tapi sayangnya, setelah penjurian saya tidak menang sodara sodari! hehehe. Banyak foto lain yang lebih keren pastinya. Sedikit timbul kekecewaan dalam benak saya. Karena pemenangnya itu hasil editan levitasi (modelnya gak beneran melayang) dan backgroundnya juga bukan asli. Hasil studio dengan model tentunya (modelnya cantik cyiin). Mungkin karena tujuannya buat advertisement kali yaaa. Jadi emang bener-bener musti rapih. Yoosh, tetep semangat lah :)
Berikut foto-foto hasil berlatih saya:
Wednesday, February 6, 2013
Belajar dari sebuah kehilangan
“kehilangan seseorang seperti
kehilangan tangan yang sebelah. Seperti kurang lengkap”
Bulan lalu, tepatnya tanggal 23
Januari saya berkesempatan untuk melakukan presentasi bersama teman-teman
lainnya di hotel FM7 yang tak jauh (bahkan sangat dekat) dari bandara
Soekarno-Hatta. Di sana, saya dan ketiga teman yang berada di bawah naungan
pembimbing mempresentasikan hasil sementara penelitian skripsi. ya, setidaknya kami sempat dag-dig-dug juga. Karena
merasa penelitian sementara masih sangat dangkal. Apalagi presentasinya di
depan para professor. Sebut saja, guru besar dari universitas Amsterdam (sebut
saja Bu Prof Amsterdam), serta prof dari Univ.Hasanuddin Makassar.
![]() |
"Susana Hotel FM7" Foto diperoleh dari: http://www.hotels.com/ho324660/fm7-resort-hotel-jakarta-indonesia/ |
Presentasi ini dilatarbelakangi oleh si Bu Prof Amsterdam yang sedang
melakukan penelitian di lima negara. Penelitian dapat dikatakan sebagai
penelitian yang cukup besar karena juga didanai oleh negara kincir angin itu. So
far, keren abis lah si Bu Prof Amsterdam bisa nembus proyeknya untuk didanai
negara. Mengingat penelitian ini masih jarang dilakukan (antropologi medis),
maka Bu Prof Amsterdam dan Makassar ingin melihat sejauh mana hasil yang sudah
kami peroleh dalam penelitian. Saya dan ketiga teman lain memiliki objek yang
berbeda. Ada yang meneliti tentang waria, pelajar akademi, penjaja seks, maupun
pekerja salon.
Presentasi yang kami pikirkan “formal dan menegangkan” ternyata seperti
diskusi biasa saja. Ketika kami tiba di hotel, kami memasuki ruangan rapat yang
sudah disiapkan proyektor. Nuansa ruangan juga sangat “nyaman”. Nyaman yang
saya maksud di sini adalah: format kursi letter U, AC dingin mantap, makanan
terus merayap satu persatu memasuki ruangan. Pokoknya TOP BGT deh. Suasana diskusi
sangat menyenangkan. Kami memprestasikan hasil penelitian masing-masing dan
mendapatkan masukan dari para Prof tersebut. Oh ya, saya lupa menyisipkan tokoh
lain. Dalam ruangan tersebut juga ada pembimbing skripsi dan salah satu dosen
dari Sosiologi yang ingin melanjutkan post doktoral di Malaysia.
Presentasi sempat di potong pada jam istirahat. Kami makan siang bersama di
restoran hotel. Apa rasanya makan semeja bersama para peneliti. Saya sendiri
tidak terbayang duduk makan bersama mereka serta mendengarkan obrolan satu
dengan yang lain. Saya lebih banyak diam dan berbincang bersama dosen
pembimbing. Mengingat belum akrab dengan para bu Prof. Paling, saya hanya
bertanya terkait penelitian yang dilakukan Bu Prof Amsterdam. Ia mengatakan
bahwa sedang mencari tambahan peneliti karena memang penelitian yang dilakukan
adalah jangka panjang. “And you must prove your English” begitu katanya menutup perbincangan sambil
tersenyum ramah.
Pukul 16.00 sore. Kami berempat pulang dan ikut bersama si dosen Sosio. Kebetulan
beliau bawa mobil dan pulang arah srengseng. Saat masuk mobil, saya membuka
pembicaraan. Mulai dari kegiatan penelitian saat ini dan studi apa saja yang
telah beliau raih. Dulunya Bu Dosen ini (sebut saja begitu) S1 di Sosio. Lanjut S2 dan S3 di Amsterdam melalui beasiswa. Saat ini berencana untuk
ambil post doktoral di Malaysia akhir bulan Januari. Kalo dilihat-lihat dari
face nya sih mungkin beliau saat ini berusia 40-an tahun. Tapi mukanya masih
keliatan muda kok. Selama perjalanan, Bu Dosen banyak sharing pengalaman. Dulunya,
tema skripsinya tentang keputihan pada kalangan PSK di bawah umur.
"Sebuah rintik dalam jiwa yang rintih" Foto diperoleh dari: vgladding.blogspot.com |
Cerita lanjut cerita, kami bercerita tentang Bu Prof dari Amsterdam. Ternyata
suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dari pernikahannya tersebut
dikaruniai satu orang anak. Saat ini Bu
Prof Amsterdam sibuk melakukan penelitian kesana kemari. Anaknya sih mungkin
udah mandiri kali ya ditinggal mama nya. Kalau dipikir-pikir, Bu Prof Amsterdam
ternyata punya memori “kehilangan” di balik wajah ramahnya. Tak lama kemudian,
teman-teman saya yang lain turun dari mobil. Sisa saya yang terakhir duduk
menumpang. Saya pun menceritakan tante teman saya yang suaminya meninggal
beberapa minggu setelah menikah. Kemudian, suasana agak hening. Saat Bu Dosen
yang menyetir memandang ke depan dan mengatakan dengan santai .
“suami saya juga sudah meninggal dua tahun yang lalu”. Ia tak terlihat
sedih. Perbincangan ini seperti diskusi santai di tengah keheningan mobil yang
terus melaju dalam gerimis yang terus menurus.
“suami saya kena serangan jantung. Gak lama setelah naik sepeda. Kami pacarannya
lama, 16 tahun. Ya pacarannya lama soalnya agak susah juga ya, beda agama kita.
Lucunya, pacaran 16 tahun, nikahnya baru 5 tahun. Temen-temen saya suka
ngeledek gitu.” Saya terdiam.
"sebuah memori dalam hujan yang gerimis" Foto diperoleh dari: lifehacker.com |
“sekarang saya tinggal sama ponakan
aja. saya gak punya anak. Nikah juga telat kan, 37 tahun.” Saya cuman bisa
ngangguk melihatnya dari belakang terus mengemudi dalam kondisi santai. Saya tak
tahu betul, ia santai dalam sedih atau bagaimana.
“suami saya meninggal pas ketika saya mau sidang S3 di Belanda. Sempat bingung
juga harus lanjut atau nggak. Tapi saya punya dua pilihan, sedih mengenang
suami saya atau terus maju dan selesaikan S3 yang sebentar lagi. Selama di sana
saya fokus untuk selesaikan. Baru deh, setelah semua selesai berasa dia udah
nggak ada. Berasa tadi malam baru planing ini itu, besoknya dia udah meninggal.”
Saya tidak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya hanya terbengong-bengong
melihat Bu Dosen yang nampak tangguh di balik stir.
Saya pun berucap: “saya salut dengan orang-orang yang tangguh yang terus
bergerak dan move on meski telah kehilangan pasangan hidup. Jujur, saya salut.”
Mobil terus melaju di tengah keheningan antara saya dan Bu Dosen. Hanya gerimis
yang berdiskusi. Bernyanyi kecil. Menemani kami di tengah bisu dan haru.
Ya, banyak di antara kita yang pernah
merasakan kehilangan. Tapi tidak banyak darinya yang mau untuk move on,
berjalan, dan terus meraih cita dan harap. Bagaimana mungkin seseorang yang
telah kehilangan seorang suami bisa begitu tangguh untuk langsung terbang ke
Belanda dan menyelesaikan S3? Lagi-lagi, si tangguhlah yang sanggup untuk terus
melangkah bahkan berlari. Tak berlarut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Tapi
terus melaju menerima dan menggapai. Apakah Anda termasuk dalam bagiannya?
Thursday, December 13, 2012
Bedah Buku Bersama Merlyn Sopjan
"Betapa
hebatnya Tuhan memberikan mata ini untuk melihat banyak keindahan. Itu artinya,
Tuhan menyuruh kita untuk melihat perbedaan-perbedaan itu. Lalu mengapa hari
ini kita mematikan fungsi dari mata kita sendiri. Mematikan akal kita untuk
melihat satu hal saja dan tidak melihat yang lain?”
Begitulah salah satu kutipan yang saya
peroleh saat Merlyn Sopjan (Miss Waria Indonesia 2006) menjelaskan latar belakang puisi yang ia buat dalam buku keduanya berjudul
“Jangan (hanya) lihat kelaminku”. Saat itu saya bungkam dan berpikir. Betapa
kita, seorang manusia sungguh naif untuk membatasi pikiran kita dalam kotak
yang kaku dan tertutup rapat luar biasa. Kita, manusia, cenderung memaknai hal
diluar kotak menjadi sesuatu yang ANEH, BURUK, dan MENJIJIKKAN.
“hari ini, saya menghargai Anda, sebagai
seorang individu. Bukan karena sebuah mayoritas. Lalu mengapa, Anda tidak bisa
menghargai saya?”
Lontaran tersebut nampak bahwa “kaum di
luar garis normal” betul-betul “diperkosa” hasratnya, jiwanya, dan hak nya.
Kita tahu betul, bahwa kaum LGBT belum
total diterima oleh masyarakat dan negara kita. Tidak sedikit pula dari
masyarakat maupun aparat melakukan kekerasan terhadap kaum tersebut. Kekerasan yang
saya maksud di sini bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga psikis. Norma masih
menjadi landasan utama bagi masyarakat untuk melakukan tindakan dalam hidup. Tapi,
bukan berarti kita menginjak-injak hak orang lain. Bukan berarti kita melakukan
“pemerkosaan” terhadap jiwa mereka. Justru kaum merekalah yang sanggup MENERIMA
PERBEDAAN. Justru kaum merekalah yang dapat menerima dengan tangan terbuka
terhadap KERAGAMAN yang ada. Lalu kita, hanyalah seonggok penonton yang tahu
menghina dan berkomentar.
![]() |
Foto diperoleh dari: http://www.ourvoice.or.id |
![]() |
Foto diperoleh dari: http://www.ourvoice.or.id |
Berikut adalah kutipan yang saya peroleh
dari Facebook mbak Merlyn Sopjan sekaligus menjadi penutup saat launching buku
tersebut. Puisi ini juga ada di dalam buku pertamanya, “Perempuan tanpa V”.
Ketika akhirnya bisa berdamai dengan
diri sendiri dan menerima diri sepenuhnya seperti apa yang kita inginkan, yang
kemudian lahir adalah rasa yang begitu melegakan.
Ketika tumbuh menjadi satu pribadi unik, kita
melewati hidup dan belajar menghargai keunikan orang lain. Dari situ kita akan
menghargai keragaman ciptaan Tuhan.
Hampir separuh hidup saya, saya telah bisa
menerima diri saya seperti adanya. Dengan penerimaan itu saya berusaha
menghargai ketidak sempurnaan yang saya miliki. Saya tidak akan pernah menjadi
sempurna. Tak akan pernah. Karena saya hanyalah seorang manusia. Yang terlahir
dengan keterbatasan. Yang saya inginkan hanyalah bisa tumbuh, agar saya bisa mensyukuri
segala hal yang saya dapat.
Saya masih mempercayai sebuah naluri. Bahwa suatu
saat yang tepat, saya akan tau jawaban yang benar akan segala pertanyaan dalam
hidup saya. Saya juga masih percaya, bahwa tidak salah untuk tidak tau segala
hal. Karena Ke Maha MisterianNYA tetaplah Esa.
Tempat dimana saya ada sekarang adalah tempat yang
sudah membuat saya bahagia. Masa lalu saya adalah sahabat terbaik saya hari
ini. Masa lalu juga yang membawa saya sampai ke tempat dimana sekarang saya
ada. Menjadi pribadi yang kuat dan lebih menghargai hidup.
Saya akan memilih tinggal dalam realita kehidupan
yang sekarang saya jalani. Menjadi diri saya sendiri. Menjadi seseorang sesuai
langkah membawa saya. Bukan untuk terombang ambing. Tapi untuk membuka hati
merasakan keindahan hidup ini dalam pahit dan manisnya. Karena merasakan
sukacita akan jadi sempurna ketika sebelumnya rasa sakit telah kita akrabi.
Hari ini, saya melepaskan segala keinginan saya
dan memberi Tuhan satu ruang untuk melakukan pekerjaanNYA atas hidup saya. Saya
adalah Merlyn. Dan saya seorang Waria yang akan terus bangga dengan keunikan
saya.
Menghargai PLURALITAS, tidak hanya
terbatas pada SARA. Tetapi juga terhadap keberagaman orientasi seksual
seseorang, yakni pada kaum LGBT.
Sunday, November 11, 2012
Normal: Bagiku, bagimu?
Ada kalanya saya berpikir, sesuatu yang normal layaknya keseharian yang saya jalani. Seperti interaksi dengan orang lain maupun lingkungan baru. Datang berkenalan dan berbincang dengan memulai sesuatu yang ringan. Namun terkadang, hal yang bagi kita normal bisa saja dianggap aneh atau janggal dimata orang lain. Lagi-lagi, kita harus belajar untuk melihat dua sisi dari cara pandang yang berbeda.
Baru beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi sebuah tempat yang nanti akan saya jadikan lokasi skripsi. Tempat itu merupakan tempat yang dijadikan wadah diskusi pada salah satu kalangan. Pemilik organisasi tersebut merupakan kenalan dari dosen saya. Tentu saja, melalui link tersebut saya memperoleh kontak si pemilik organisasi. Berhubung skripsi baru akan digarap tahun depan, saya sudah mulai untuk melakukan pendekatan terhadap informan terlebih dahulu untuk membangun "rapport". Pertama kali saya kesana, saya mengatakan kepada pemilik organisasi bahwa saya akan melakukan penelitian dan untuk saat ini ingin datang berkunjung dahulu.
Hari berikutnya, saya datang bersama seorang rekan untuk datang berkunjung. Kebetulan di sana sedang diadakan kegiatan diskusi. Saya datang sekitar pukul 11 siang di mana kegiatan tengah berlangsung. Di ruangan tengah sedang diadakan kelompok diskusi yang terdiri dari 4 kelompok. Saya datang dan bertemu dengan si pemilik organisasi. Ia mengatakan kepada saya untuk bergabung saja di ruang tengah. Mungkin saya yang salah tangkap atau bagaimana, dengan statement tersebut saya langsung saja bergabung dan berbincang dengan salah satu kelompok. Saya memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksud dan tujuan saya ke sana. Sampai akhirnya waktu istirahat, saya melanjutkan pembicaraan kepada beberapa orang dan berbincang layaknya orang yang mulai akrab.
Beberapa jam di tengah kegiatan, saya izin keluar untuk beribadah. Setelah selesai dan ingin masuk ke dalam ruangan, salah seorang panitia dari kegiatan datang menghampri saya dan mengajak untuk berbincang. Saat itu ia mengatakan bahwa di tengah kegiatan berlangsung saya datang begitu saja dan masuk ke dalam kelompok. Saat di tengah kegiatan saya juga sempat keluar dan dikhawatirkan mengganggu konsentrasi peserta. Istilahnya, saya juga terlihat "sok kenal sok dekat" dengan beberapa orang yang berada di dalam kelompok diskusi. Kasarnya, saya datang begitu saja tanpa surat izin dari fakultas dan masuk ke dalam kelompok. Setidaknya, saya diingatkan untuk tetap mengingat norma dan sopan santun saat masuk ke dalam lingkungan yang baru.
Saat itu, saya tersentak. Menurut saya sangatlah normal untuk melakukan interaksi seperti itu. Datang berkenalan dan masuk ke dalam kelompok. Namun ternyata ada pandangan yang lain, bahwa saya adalah seorang yang baru datang dan tanpa ada aba-aba masuk ke dalam. Apa yang menurut kita sudah sopan, sudah normal, belum tentu sama dengan pandangan orang lain. Sungguh nilai-nilai tersebut relatif maknanya. Sebab itulah, kita perlu banyak belajar dan melihat sebuah kondisi. Apa yang bagi kita normal, belum tentu sama di mata orang lain. Begitu juga Anda kan?
Sunday, November 4, 2012
Mencari Rasa yang ke-100
Beberapa minggu belakangan ini, teman-teman yang saya sayangi bermunculan hadir dengan cerita yang sama. Mungkin secara kebetulan, atau entah apa. Berturut-turut saya mendapat sebuah benang merah, dengan cerita dari masing-masing pihak yang beragam. Benang merahnya, tidak lain adalah "putus cinta". Terdengar menggalau atau pasaran di antara kita semua, bahkan bagi orang yang sedang membaca tulisan ini. Tapi saya ingin sekedar "sharing" dan mengungkapkan apa yang saya rasa dan pikirkan.
Adalah sebuah kesamaan antara orang yang jatuh dan sakit cinta. Keduanya adalah BUTA. Seseorang yang demikian sayangnya, akan tertutupi dari rasa yang benar-benar sakit. Partner adalah sosok sempurna di mata. Sebaliknya, seseorang yang sedang merasakan sakit, akan benar-benar buta merasa menjadi orang paling menderita, sial, ataupun apes. Tak jarang pula saya bertemu dengan orang yang mengasihani dirinya karena merasa sakit akan hubungan yang dijalani. Misalnya, "kasian ya gw". Meskipun terdengar ringan, tapi secara implisit menunjukkan bahwa kita sedang mengasihani diri sendiri.
Taukah kita? Bahwa rasa sakit dan senang adalah rasa yang dibuat oleh diri kita sendiri?
Tahukah kita? Bahwa rasa bahagia adalah kita yang menciptakannya?
Tak banyak dari kita, mungkin saya, ataupun Anda yang membaca tulisan ini, menyalahkan orang lain karena merasa sakit ataupun tidak bahagia. Sumber bahagia mengacu pada "setting mind". Bagaimana kita mengatur pola pikir kita sendiri untuk merasa bahagia. Orang lain hanyalah menjadi hingar bingar, sekedar lewat, seperti iklan - intermezzo. Sedangkan kita, adalah pemeran utama yang independen.
Ya, mencari rasa. Seperti halnya mencari partner sampai mendapat rasa yang pas dan klop. Pas rasa manis, asin, asam, pedas, dan segala macam rupanya. Komposisi terasa mantap di lidah dan ingin menetapkannya sebagai rasa yang cocok bagi Anda. Pada akhirnya, ketidaknyamanan dan kesenangan akan rasa-rasa, adalah sebuah "setting mind" yang bermain dalam kepala Anda sendiri.
Adalah sebuah kesamaan antara orang yang jatuh dan sakit cinta. Keduanya adalah BUTA. Seseorang yang demikian sayangnya, akan tertutupi dari rasa yang benar-benar sakit. Partner adalah sosok sempurna di mata. Sebaliknya, seseorang yang sedang merasakan sakit, akan benar-benar buta merasa menjadi orang paling menderita, sial, ataupun apes. Tak jarang pula saya bertemu dengan orang yang mengasihani dirinya karena merasa sakit akan hubungan yang dijalani. Misalnya, "kasian ya gw". Meskipun terdengar ringan, tapi secara implisit menunjukkan bahwa kita sedang mengasihani diri sendiri.
Taukah kita? Bahwa rasa sakit dan senang adalah rasa yang dibuat oleh diri kita sendiri?
Tahukah kita? Bahwa rasa bahagia adalah kita yang menciptakannya?
Tak banyak dari kita, mungkin saya, ataupun Anda yang membaca tulisan ini, menyalahkan orang lain karena merasa sakit ataupun tidak bahagia. Sumber bahagia mengacu pada "setting mind". Bagaimana kita mengatur pola pikir kita sendiri untuk merasa bahagia. Orang lain hanyalah menjadi hingar bingar, sekedar lewat, seperti iklan - intermezzo. Sedangkan kita, adalah pemeran utama yang independen.
Ya, mencari rasa. Seperti halnya mencari partner sampai mendapat rasa yang pas dan klop. Pas rasa manis, asin, asam, pedas, dan segala macam rupanya. Komposisi terasa mantap di lidah dan ingin menetapkannya sebagai rasa yang cocok bagi Anda. Pada akhirnya, ketidaknyamanan dan kesenangan akan rasa-rasa, adalah sebuah "setting mind" yang bermain dalam kepala Anda sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)