Monday, June 24, 2013

Lakon Wanitapria

Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah kategori-kategori, lalu mengamininya

Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55 kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya, seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut wajahnya. “saya ikhlas.”  Ujar Wanitapria lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?” saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5 tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun. Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.




No comments: