



Bernyanyi di tengah api menyala
Panas dan meleleh di antara gelap yang tajam
Meringkuh tak bertenaga
Seakan aku ingin marah dalam bayangan kosong
Tak ingin aku membuat catatan sejarah hidup yang penuh kemurkaan
Protes akan keadaan semu – tak nyata
Bersembunyi di gunung penuh semak perdu pun takkan mampu…
Takkan mampu membangunkan catatan yang kian lelah akan kehidupan
Berjuang dalam putihnya bait dan baris
Tak mampu lagi aku mengandalkan tangan kuat itu
Begitu rapuh dan lemah... bahkan hanya untuk menorehkan tulisan-tulisan kecil
Gemercik yang kian lenyap semakin buat pita suaraku tercekik
Kuatnya nada kian layu dan kelu
Layaknya sebuah catatan kosong tanpa perjuangan
Langit seakan memberi wajah berbeda..begitu datar tanpa sahutan
Begitu sayup dan tak terdengar
………………
Mati
Hembusan terasa semakin pelan dan tak terasa manisnya – hambar
Kalut
Ketenangan hanyalah menjadi sebuah risau dalam alunan yang berbeda
Ya, berbeda…
Untuk sayap-sayap biru bening dan mudah retak
Disitulah aku memanggilmu..
Saat dinamika kian riuh dan tak berarti
Untuk secangkir kopi dingin tak beraroma
Tak pekat dan tak lekat akan nilai keadilan
Begitu luntur nan lentur akan sebuah kepiawaian
Untuk sebuah nadi-nadi tak berdarah
Aliran yang terhenti akan cinta dan mesra
Miris mengiris tak berdaya
Terlena… (pasrah)
Untuk bunga tak berkelir
Letih akan rona
Bias tak berarti..
(saat langkah tak tertuju, tempat penuh dengan buku, riuh lalu lalang di sebuah kota berpolusi)