Saturday, November 15, 2014

Sharing: Pengakuan Seorang Supir Taxi (Part II)


 Semenjak saya menjadi freelancer studio fotografi, saya mengenal seorang supir taxi langganan bos saya. Saya baru mengenalnya sekitar awal tahun 2014. Usianya sudah hampir mendekati kepala empat. Tubuhnya agak gemuk dan kepalanya botak plontos. Seringkali ia mengenakan peci namun ia sendiri tidak menumbuhkan jenggot apalagi kumis. Wajahnya terlihat bersih dan pembawaannya ramah. Ia sering bolak balik studio untuk mengantar bos saya. Tidak hanya mengantar, pembawaannya yang ramah juga membuat dirinya dekat dengan si bos. Buktinya, ia sering masuk ke studio meski hanya duduk dan menyeruput secangir kopi. Saya pribadi sebagai anak baru mencoba untuk dekat dengan Pak Junawa (nama disamarkan). Kedekatan makin terasa karena Pak Junawa senang guyon dan saya yang juga menimpali.

Cukup banyak hal yang saya ketahui tentang kehidupan Pak Junawa. Ia dulunya seorang pemimpin dalam sebuah kantor di bagian listrik. Ia lulusan S1 elektro dan sekarang ia memutuskan untuk menjadi seorang supir taxi. Mengapa jadi supir taxi? Ceritanya begini. Ketika ia menjabat menjadi kepala kelistrikan, anak buahnya tersetrum kabel telanjang dan membuat pekerjanya tersebut meninggal. Sekitar 7 orang meninggal ketika kejadian tersebut.

Ada 2 orang yang masih sempat meninggalkan pesan akhir. Orang pertama: ingin dikuburkan ke kampung halaman. Orang kedua: meminta untuk anak istrinya dijaga. Pak Junawa kemudian mengerjakan permintaan kedua pekerjanya tersebut. Orang pertama dibawa ke kampung halaman dimana Pak Junawa sendiri yang membawa kendaraan. Sementara orang kedua, hingga saat ini masih dibiayai anak dan istrinya oleh Pak Junawa sebagai bentuk tanggung jawab. Pak Junawa pribadi tidak ingin menikahi si janda beranak satu tersebut. Baginya, itu adalah tanggung jawab yang harus diemban hingga akhir hayat. Namun bagaimana pun, seorang janda yang ditinggal seorang suami dan melihat ada laki-laki yang bertanggung jawab justru makin tertarik. Bagaimana tidak, ia minta dinikahi oleh Pak Junawa. Tetapi Pak Junawa menolak. Hal yang juga mengejutkan adalah, istri Pak Junawa merelakan untuk dimadu. Sontak Pak Junawa menolak. Ia tidak ingin poligami. Singkat cerita, saat ini Pak Junawa menanggung si janda beserta anak dan anak istri Pak Junawa.

Selepas kepergian anak buahnya yang meninggal di depan matanya tersebut, Pak Junawa mengalami traumatik dan tidak ingin bekerja di bidang listrik lagi. Ia menghukum dirinya untuk bekerja sebagai supir taxi di Jakarta.

Suatu hari Pak Junawa tidak muncul lagi di studio. Ia jarang datang, hingga akhirnya tak muncul. Belakangan saya ketahui, ia pulang kampung untuk mengurus proses perceraiannya dengan sang istri. Ia memiliki 2 orang anak perempuan dan nantinya anak tersebut diambil hak asuk oleh sang istri. Pak Junawa mendapat pinjaman uang dari si bos untuk pulang ke kampung. Usut punya usut, istrinya telah memiliki kekasih lain dan sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan Pak Junawa yang sibuk mencari uang di Jakarta. Hm, kalau dipikir-pikir LDR (long distance relationship) untuk orang yang berkeluarga sangat berat ya. Sekitar 1 bulan Pak Junawa tak ada kabar. Hilang dari peredaran.

Saya sudah tidak melihat Pak Junawa lagi sekitar 1,5 bulan. Nomor HP nya pun sudah tak aktif lagi. Hingga akhirnya saya terkejut, saat melihat Pak Junawa di studio bersama si bos. Saya tidak banyak bertanya dan lebih bertegur sapa saja. Saya hanya mendengar kabar dari kawan di studio, bahwa proses perceraian Pak Junawa telah selesai. Si anak sendiri juga mengetahui bahwa ibunya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Kini, Pak Junawa kembali menjadi bujang. Ia berusaha tegar, namun ada kekosongan di dalamnya. Hal terberat adalah ketika harus berkelana sendiri di Jakarta kota metropolitan dengan pendapatan tak seberapa, ditambah perceraian yang menimpanya, belum lagi dengan anaknya yang mungkin akan sulit ia temui lagi.    

Pertengahan tahun 2014. Pacar saya datang ke Jakarta dan menginap di hotel Zodiak. Berhubung ia pergi karena urusan kantor, saya lah yang pergi ke sana untuk bertemu. Berencana untuk jalan-jalan ke Kemang hingga akhirnya kami harus selesai larut malam karena tersasar. Sekitar pukul 10 malam saya harus stay di hotel untuk menunggu Pak Junawa menjemput. Kebetulan ia sedang kosong dan bisa datang ke hotel Zodiak menjemput saya. Sekitar pukul 10.30 malam Pak Junawa tiba. Ia menatap saya curiga. Larut malam di hotel bersama pacar saya. Ya, tidak dapat dipungkiri orang lain akan berpikir apa dengan melihat kondisi saya saat itu. Andai dia tahu, bahwa saya dari Kemang dan tersasar karena mencari sebuah alamat.

Saya masuk ke dalam taxi dan duduk di depan. Bagi saya Pak Junawa bukanlah orang asing dan tidaklah pantas bagi saya untuk duduk di belakang. Bermula bincang-bincang tentang kemacetan Jakarta, hingga akhirnya obrolan berujung pribadi.
            “mba Icha tahu Rara?” (nama si wanita disamarkan).
            “ya aku tahu. Cewek langganan bapak itu kan.” Rara adalah pelanggan tetap Pak Junawa. Hampir setiap hari Rara berlangganan. Dari rumah ke kampus, kampus ke rumah, hingga untuk urusan jalan-jalan. Pak Junawa bagai supir pribadi.  Rara adalah anak orang kaya tapi sang ayah telah meninggal. Ia tinggal bersama ibunya dimana sang ibu juga sudah mengenal dekat Pak Junawa.
            “Rara hamil mbak. Hamil di luar nikah. Pergaulannya begitu kan.”
            “wah, emang tuh anak nggak main aman pak? Haha” saya berusaha santai
            “halah. Yang anak aman-aman aja juga bakal kebobolan kan” tidak tahu apakah pak Junawa menyindir saya karena saya pulang malam dari hotel bersama pacar.
            “ya paling nggak, si Rara itu main amanlah biar nggak hamil. Terus kata mamanya apa Pak?”
            “saya nggak tahu. Udah nggak kontak dengan mereka lagi.”
            “ohh..gitu”

Perbincangan terus berlanjut hingga akhirnya Pak Junawa memulai kalimat,
            “mbak Icha tahu nggak, janda itu lebih nggak bisa nahan hasrat dibanding duda”
            “bukannya malah sebaliknya? Laki-laki yang nggak bisa nahan nafsu. Makanya ada yang bilang perempuan bisa hidup dengan kekasihnya tanpa sex, sementara laki-laki bisa berpacaran dengan seorang cewek tanpa rasa cinta tapi yang penting bisa nge sex”
            “nggak gitu. Janda itu gatel mbak.”
            “nggak ah” saya masih mempertahankan statement.
            “kalau nggak gatel nggak mungkin dia bisa bertingkah” Pak Junawa mulai celoteh. “kalau nggak gatel, ngapain mamanya Rara naro tangannya di penis saya” Pak Junawa juga mempertahankan argumen. “mamanya Rara minta dilayani. Tapi saya nggak mau dibayar. Saya mau melayani tapi saya nggak mau kalo dikasih uang. Saya nggak butuh.” Saya terdiam mendengar cerita Pak Junawa. “banyak yang begitu mbak. Para Janda itu emang gatel. Minta dilayanin. Tapi saya sih nggak mau pungut biaya.”
            “hmm gitu” artinya, bukan hanya 1-2 janda. Baiklah. Satu gambaran lain tentang Pak Junawa. Satu sisi yang berbeda. Satu torehan baru yang saya ketahui tentang dirinya.
            “bagi saya sama-sama puas udah cukup. Saya marah kalo dibayar.”
            “hmm gitu” otak saya berpikir cepat. Artinya pak Junawa tetap memasang harga diri tanpa adanya tarif. Tetap terlihat wibawa, juga cukup “mahal” untuk memperoleh “pelayanan”.
            “saya lagi deket sama perempuan mbak. Orangnya bawel banget. Dia ngundang saya makan malam di rumahnya. Tapi saya nggak bisa karena harus jemput mbak.”
            “waaah, saya minta maaf deh pak. Hehe.” 
            “orangnya ya gitu deh. Bawel. Gatel juga dia. Haha”

Selepas itu, perjalanan yang sebentar lagi tiba di rumah, Pak Junawa mengisinya dengan candaan tentang pacar barunya itu. Ia mengaku sudah trauma dengan perempuan cantik. Katanya, waktu dia sedang masa jaya, istrinya sangat perhatian dan cinta mati. Tetapi ketika ia menjadi jatuh dan runtuh, seolah cinta itu sirna. Sang istri lebih banyak menuntut dan tidak memberikan dukungan moril. Sekarang, pacar barunya tersebut berbadan gemuk dan tidak terlalu cantik. Well, candaan tersebut menjadi bumbu menarik menutup perbincangan kami di tengah heningnya malam di hari Sabtu.

Setibanya di rumah, saya hanya bisa menghela napas panjang. Baru saja saya mengetahui cerita lain dari kehidupan Pak Junawa. Sisi yang tidak saya ketahui sebelumnya. Saya tidak ingin menjadi orang yang sok suci dan menyalahkan apalagi menghakimi Pak Junawa.  Hal terpenting adalah belajar. Kita bisa belajar dari siapa pun. Dari orang yang memiliki profesi atas hingga bawah. Dari orang terpelajar hingga tak berpendidikan. Ya, setiap manusia punya sisi hitam. Setiap manusia punya kisah pahit. Hidup ini mengajarkan kita untuk menjadi orang yang bijak. Menjadi orang yang matang. Menjadi orang yang tangguh. Sabar. Bersyukur. Pemaaf.

Kita bisa jadi hitam saat mengikuti hitam. Dan menjadi putih saat berkomitmen untuk mengambil putih. Pilihan ada di genggaman masing-masing. Untuk memilah dan memilih.


Setelah kejadian itu, saya tidak bertemu dengan Pak Junawa lagi. Ia juga tak memunculkan batang hidung di studio semenjak ada “pertengkaran kecil” dengan si bos. Nomor Pak Junawa sudah tidak aktif lagi. Pak Junawa tak kuketahui keberadaannya. Hingga saat ini.

No comments: