Saturday, November 15, 2014

Sharing: Pengakuan Pelatih Les Nyetir (Part I)



Have you ever meet someone that you will not meet him again, and he talks everything about his life?

Kejadian ini sering kali saya alami, dimana saya bertemu dengan seseorang dan kemudian ia menceritakan segalanya seolah-olah saya ini adalah sahabat terdekatnya. Seru memang, bertemu dengan seseorang yang baru dan menceritakan berbagai hal. Saya jadi belajar melihat sudut pandang yang baru di samping cerita yang baru pula.

Sekitar tahun 2012 saya mencoba untuk belajar les nyetir di daerah Depok (nama tempat disamarkan) dan mendaftarkan diri untuk lima kali pertemuan. Hari pertama saya belajar les nyetir, pelatihnya laki-laki muda sekitar 29 tahun. Tinggi tubuhnya sekitar 165 cm, berkulit sawo matang, dan rambut pendek berombak. Raut wajahnya tajam dan keras, seperti menunjukkan karakter yang kuat dan kepala batu. Ia mengenakan polo shirt dan jeans belel namun tetap terlihat cukup rapih untuk seorang pelatih. Mulanya ia mengajari bagaimana arah untuk gigi 1, gigi 2, dan seterusnya. Setelah saya mulai mengingat letak gigi 1 hingga 5 dan mundur, mesin menyala dan mulai berjalan langsung ke jalan raya. Selang lima menit berjalan, saya mulai berbasa basi untuk berkenalan menanyakan namanya.

            “namanya siapa mas?”
            “saya Wawan” (bukan nama sebenarnya)
            “saya Andi. Tapi biasa dipanggil Icha.”
            “oh..orang Makassar ya?”
            “iya mas. Tapi udah besar di Jawa. Jadi muka saya juga nggak keliatan kalo orang Sulawesi.” Saya berusaha untuk memaparkan penjelasan singkat.

Selama perjalanan, saya tidak banyak bercerita. Saya hanya menjadi pendengar setia. Mas Wawan bercerita tentang kehidupan sehari-hari hingga agama. Ia antusias saat mengetahui bahwa pemikiran saya terbuka terhadap agama. Tidak kaku dan lebih luwes. Hingga akhirnya ia mulai menceritakan hal yang privat. Tentang dirinya.
           
            “mba Icha, saya ini dulu pernah punya pacar.” Mas Wawan memulai ceritanya dengan pancingan kehidupan pribadi. Saya hanyalah pendengar setia yang siap mendengar ocehannya dari detik ke menit. Berusaha agar setiap kata yang ia lontarkan merupakan hal menarik agar ia bisa lebih banyak bercerita. Bukan bermaksud untuk menjadi pendengar yang “fake”, tapi dengan melihat kita antusias ia akan lebih banyak membuka ceritanya. “pacar saya dulu adalah anak yang saya latih. Anaknya cantik. Masih kuliah. Baru-baru masuk kuliah. Anak orang berada. Kuliahnya di univeristas swasta dan saya tahu itu bagus.”
            “waah..lalu?” mulai terdengar menarik. Semacam skandal yang terasa manis namun pahit akhirnya.
            “tapi dia kurang kasih sayang. Orang tuanya sibuk. Jadi dia cari perhatian. Perhatian itu dia dapat dari saya mbak.” Mas Wawan bercerita santai seolah olah itu adalah hal biasa. “pertemuan pertama sih terasa biasa ya. Pertemuan berikutnya seperti ada yang menarik kami berdua untuk akhirnya memutuskan berpacaran.” Ia masih bercerita di tengah heningnya suasana mobil dan saya yang serius belajar menyetir. “kami saling suka mbak,” jelasnya.
            “waah begitu ya” cukup memberikan jawaban singkat saja agar ia bisa melanjutkan ceritanya.
            “pada akhirnya kami sering bertemu di luar jam les. Saya tahu, dia anak orang berada. Dan saya ini nggak ada apa-apanya. Apalah saya ini. Tapi saya tahu, dia anak yang kesepian. Butuh kasih sayang.” Mas Wawan semakin menunjukkan hasratnya untuk mengisahkan si wanita tersebut. “dan saya jadi rajin di ajak ke rumahnya. Rumahnya sepi mbak. Orang tuanya jarang di rumah.”
            “hmm..” saya mulai membaca arahnya. Sebentar lagi sepertinya aka nada adegan seru. Yah, mungkin. Tapi 99% akan seru.
            “sampe akhirnya saya masuk kamarnya. Dia minta disetubuhi. Saya awalnya ragu. Tapi, ya gitu deh. Semuanya ngalir gitu aja. Dari pertama, hingga lama-lama jadi keseringan.” Gumam mas Wawan.
            “hahaha..” saya hanya tertawa kecil. Tidak ada lagi reaksi yang bisa saya berikan.
            “tapi sepertinya hubungan kami jadi ketahuan sama orang tua dia.” Mas Wawan menghela napas panjang. Well, pada akhirnya bangkai yang busuk akan tercium juga kan?
            “oh gitu. Terus mas Wawan putus?”
            “akhirnya dia nikah mbak. Sama lelaki lain. Saya tahu, saya ini bukan apa-apa. Dia anak yang terpandang. Terakhir saya bertemu dia, dia sudah hamil. Tapi saya tahu, dia masih suka sama saya” mas Wawan terlihat sangat percaya diri.
            “oh ya? Toh dia sudah hamil dan punya suami sekarang. Yasudahlah”
            “iya mbak Icha. Sekarang saya sama tante-tante yang udah punya suami” mas Wawan menceritakan halaman lain dalam hidupnya.
            “Wow. Emang tante-tante nya suka sama mas Wawan? Jangan-jangan cuman sms biasa aja lagi.”
            “nggak. Emang dia suka sama saya kok”

Perbincangan kami terhenti. Waktu les 2 jam telah selesai dan kami tiba di tempat les, tempat awal kami memulai latihan. Bagaimana pun, cerita mas Wawan hari ini cukup mencengangkan. Tapi saya tetap berusaha santai di depannya. Saya tidak bisa menjudge dia salah, fatal, dan berdosa. Bagi saya, mas Wawan adalah sosok dewasa dimana ia sudah tahu baik dan buruknya sebuah perkara. Ya, privasi masing-masing saja. Dia tidak mengganggu saya, demikian sebaliknya.

Setelah pertemuan itu, saya sudah tidak bertemu dia lagi. Pelatih saya berganti. Well, semoga saya bisa mendengar kabar baik dari mas Wawan. Suatu hari nanti.
      


No comments: