Bermain bersama keponakan tersayang, Helena Victoria di Yogyakarta. Sontak membuat saya terdiam sejenak. Warna warni dari beragam permainan. Menarik perhatian saya untuk memotretnya dalam satu lukisan kaku yang maya, fotografi.
Friday, August 16, 2013
Photoshoot at Ancol, Jakarta
Ada job pertama untuk motret prewed. Tapi hari-hari sebelumnya cek lokasi dulu untuk motret di spot mana aja. Meryl siap menjadi model untuk mengecek apakah spotnya asik dijadikan tempat foto. Daan..ini dia hasilnya :)
Thursday, August 1, 2013
Wednesday, July 31, 2013
Hijab on shoot
Thursday, July 25, 2013
Guess what
Berjalan-jalan ke pasar tradisional, selain berbelanja juga merupakan tempat wisata menarik bagi saya. Ini adalah foto-foto yang saya ambil pada tahun 2012 di Lampung :)
Monday, June 24, 2013
Lakon Wanitapria
Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah
kategori-kategori, lalu mengamininya
Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya
berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam
panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55
kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang
duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja
selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria
bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja
yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah
aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang
entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku
ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang
berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang
haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya,
seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap
mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut
wajahnya. “saya ikhlas.” Ujar Wanitapria
lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?”
saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang
dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk
mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan
seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara
saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya
bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan
perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu
betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5
tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa
asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti
dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama
saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu
adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi
keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria
tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan
ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut
saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal
saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat
saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya
terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi
laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat
menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada
dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun.
Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat
memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang
tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.
Sunday, June 16, 2013
Take picture and smile
Foto ini udah lama banget diambil. Tepatnya tahun 2011.
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Tuesday, June 11, 2013
Lokasi Pre Wedding yang Murah
Lagi nyari lokasi prewed yang murah dan banyak alternatif? Mungkin teman-teman bisa coba Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini beberapa hasil prewed di TMII:
Children Photography (Tips)
Motret anak-anak kadang jadi susah susah gampang. Baru mau motret, eeh si anak gerak sana sini. Belum lagi alat hanya seadanya (no lighting padahal mau indoor). Hehe. Nah, ada beberapa tips nih. Moga membantu ya :)
(a) Kalau bisa setting manual di kamera digital, gunakan speed yang lebih cepat. Tapi kalau repot, pake automatic juga gak apa-apa.
(b) Sebisa mungkin pencahayaan cukup. Meskipun gak punya lighting, tapi sebisa mungkin cahaya lampu memadai
(c) Gunakan size foto yang paling besar dan kalau bisa RAW (biar ngeditnya lebih terlihat halus nanti. Kalau automatic make L juga gak apa-apa)
(d) Arahkan si kecil sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari. Seperti: "katakan haloooo" atau "tunjuk, mana cicaknya??"
(e) Satu kali jepret gak bakal langsung bisa menghasilkan foto yang sempurna. Jadi terus saja jepret :)
(f) Terakhir, foto diedit dengan bentuk-bentuk lucu sesuai selera.
Selamat mencoba!
Wednesday, May 22, 2013
Berbagai pengalaman, berbagi ilmu
“gimana kalo kita umroh
nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh
tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua
kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar
untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat
menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh
semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin
seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir
saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya
berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut
ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah
namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si
pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil
(usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok
bu Faizah.
sepulang dari umroh dan akhirnya
bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk
bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak
hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang
pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita
tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit
pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran
dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali
beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat
ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras
berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi
mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis
alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan
semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang
menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal
daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin
saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan
diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil
nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang
bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya
jabatan dan kuatan.
Hidup sangat berkecukupan tapi tetap
merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang
berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang
orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena
merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul
seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai
hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah
di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta
namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang
dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada
pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya
dalam memandang hidup.
Subscribe to:
Posts (Atom)