Wednesday, July 31, 2013
Hijab on shoot
Thursday, July 25, 2013
Guess what
Berjalan-jalan ke pasar tradisional, selain berbelanja juga merupakan tempat wisata menarik bagi saya. Ini adalah foto-foto yang saya ambil pada tahun 2012 di Lampung :)
Monday, June 24, 2013
Lakon Wanitapria
Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah
kategori-kategori, lalu mengamininya
Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya
berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam
panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55
kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang
duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja
selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria
bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja
yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah
aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang
entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku
ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang
berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang
haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya,
seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap
mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut
wajahnya. “saya ikhlas.” Ujar Wanitapria
lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?”
saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang
dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk
mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan
seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara
saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya
bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan
perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu
betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5
tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa
asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti
dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama
saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu
adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi
keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria
tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan
ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut
saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal
saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat
saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya
terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi
laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat
menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada
dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun.
Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat
memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang
tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.
Sunday, June 16, 2013
Take picture and smile
Foto ini udah lama banget diambil. Tepatnya tahun 2011.
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Berawal dari keinginan Melika untuk memiliki foto (bukan pas foto loh ya. haha. Tapi foto pribadi) pada saat hari ulang tahunnya, maka saya dan Stefany berniat untuk membuat sesi pemotretan kecil-kecilan. And, here we go!
Tuesday, June 11, 2013
Lokasi Pre Wedding yang Murah
Lagi nyari lokasi prewed yang murah dan banyak alternatif? Mungkin teman-teman bisa coba Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ini beberapa hasil prewed di TMII:
Children Photography (Tips)
Motret anak-anak kadang jadi susah susah gampang. Baru mau motret, eeh si anak gerak sana sini. Belum lagi alat hanya seadanya (no lighting padahal mau indoor). Hehe. Nah, ada beberapa tips nih. Moga membantu ya :)
(a) Kalau bisa setting manual di kamera digital, gunakan speed yang lebih cepat. Tapi kalau repot, pake automatic juga gak apa-apa.
(b) Sebisa mungkin pencahayaan cukup. Meskipun gak punya lighting, tapi sebisa mungkin cahaya lampu memadai
(c) Gunakan size foto yang paling besar dan kalau bisa RAW (biar ngeditnya lebih terlihat halus nanti. Kalau automatic make L juga gak apa-apa)
(d) Arahkan si kecil sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari. Seperti: "katakan haloooo" atau "tunjuk, mana cicaknya??"
(e) Satu kali jepret gak bakal langsung bisa menghasilkan foto yang sempurna. Jadi terus saja jepret :)
(f) Terakhir, foto diedit dengan bentuk-bentuk lucu sesuai selera.
Selamat mencoba!
Wednesday, May 22, 2013
Berbagai pengalaman, berbagi ilmu
“gimana kalo kita umroh
nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh
tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua
kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar
untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat
menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh
semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin
seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir
saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya
berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut
ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah
namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si
pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil
(usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok
bu Faizah.
sepulang dari umroh dan akhirnya
bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk
bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak
hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang
pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita
tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit
pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran
dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali
beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat
ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras
berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi
mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis
alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan
semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang
menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal
daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin
saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan
diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil
nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang
bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya
jabatan dan kuatan.
Hidup sangat berkecukupan tapi tetap
merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang
berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang
orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena
merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul
seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai
hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah
di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta
namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang
dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada
pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya
dalam memandang hidup.
Thursday, April 4, 2013
Be happy :)
Sebentar lagi, kedua sahabatku Dianty dan Deddy akan menikah.
Waaaaah, senang sekali gue bisa motret prewed mereka
(Sebenernya foto ini gak dipajang di gedung, gue edit iseng aja. Hehe)
Jadi, dianty deddy ini udah pacaran semenjak kelas 1 SMA dan hal yang paling mengharukan adalah saat Deddy mau melamar Dianty. Waktu itu, anak-anak lagi ngumpul dan berencana untuk karokean. Pas banget lagu kedua, Deddy nyanyiin lagu buat Dianty disusul sama lagunya Bruno Mars - Marry You. So sweet banget deh mereka :')
Waaaaah, senang sekali gue bisa motret prewed mereka
(Sebenernya foto ini gak dipajang di gedung, gue edit iseng aja. Hehe)
Jadi, dianty deddy ini udah pacaran semenjak kelas 1 SMA dan hal yang paling mengharukan adalah saat Deddy mau melamar Dianty. Waktu itu, anak-anak lagi ngumpul dan berencana untuk karokean. Pas banget lagu kedua, Deddy nyanyiin lagu buat Dianty disusul sama lagunya Bruno Mars - Marry You. So sweet banget deh mereka :')
Happy Wedding Dianty & Deddy
(yang akan berlangsung dalam hitungan minggu lagi...hehe)
Semoga kalian menjadi keluarga yang terus diberkahi dan penuh kasih sayang
Tuesday, March 5, 2013
Capture (1)
I take a lot of picture from Lampung which is located in Sumatra - Indonesia. Hope you like it and enjoy :)
Ketika rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas
“alat rekam menjadi saksi bisu antara saya dan dia..” |
Kali ini saya ingin sharing
tentang pengalaman pribadi selama melakukan penelitian terhadap waria
remaja di Jakarta. Sedikit cerita, saya akan menceritakan dua orang waria yang membuat
perasaan saya tersentuh bahkan terharu. Semoga kisah ini dapat menginspirasi
para pembaca sekalian.
Terik menyengat,
siang itu sekitar pukul 13.05 siang saya berdiri di depan gang sekitar Buncit. Tak
lama setelah turun dari metromini saya segera menghubungi Yolanda untuk memberitahu
bahwa saya telah tiba di depan gang rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan
kos-kosan yang ia tinggali bersama tiga orang teman waria lainnya. Yolanda adalah
seorang waria remaja yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen daerah
Jakarta Selatan. Ia dikenal sebagai waria yang ramah karena pembawaannya yang
sering bercanda. Kerap kali ia membari goyonan
yang saya sendiri pun tak kuat menahan tawa. Sekitar 15 menit setelah saya
menghubungimnya, akhirnya Yolanda datang juga. Ia mengenakan kemeja garis hitam
putih dan celana hitam. Rambutnya yang sepanjang bahu dibiarkan terurai (lebih
tepatnya rambut palsu). Saat melihat saya, ia terheran-heran karena saya datang
hanya seorang diri. Yah, jelas saja saya sendiri berhubung penelitian yang saya
kerjakan saat ini untuk skripsi. Lagipula, teman-teman yang lain juga memiliki
kesibukan masing-masing. Pada akhirnya, mesti mandiri untuk mengerjakan
penelitian ini. Ya toh?
“say,
kok sendirian?” Yolanda celingak celinguk bingung.
“ya nggak
apa-apa, sendirian aja. Temen aku yang lain pada sibuk.” Saya hanya tersenyum
manis kepadanya. Mungkin Yolanda heran, apa saya tidak takut untuk datang
sendirian.
“udah
makan? Kamu sukanya makan apa?” tanya Yolanda sembari masuk ke dalam gang.
“udah,
nggak usah repot-repot. Nanti aja say”
“jauh-jauh
kamu dateng ke mari. Makan dulu lah.” Yolanda masih memaksa.
Tak lama kemudian, Yolanda berhenti di depan warung
Padang yang ada di dalam gang. Sepertinya ia sudah akrab dengan mas-mas penjual
nasi Padang. Kerap kali saya menolak, tapi Yolanda bersikeras untuk membungkus
makanan. Ketika akan membayar ke mas-mas nasi Padang, saya berniat untuk
membayar dan mengeluarkan uang. Tapi langsung ditolak oleh Yolanda.
“udah
say, aku yang bayar.”
“nggak
usah lah, aku aja yang bayar” saya berusaha untuk membayar nasi Padang
tersebut.
Pada akhirnya, Yolanda membayar nasi Padang untuk makan
siang saya. Saya ingat betul, ia mengeluarkan uang receh seribu-dua ribu untuk
membayar makanan tersebut. Ya, uang itu pasti uang hasil ngamennya. Sungguh tidak
tega rasanya. Bukan karena gengsi, makan siang saya dibayarkan oleh seorang
pengamen, tetapi saya sungguh tersentuh. Bagaimana mungkin orang yang masih
berpikir besok akan makan apa, masih sempat membayarkan saya makan siang.
Satu bulan
kemudian, saya bertemu janji dengan waria yang lain. Kali ini, waria remaja
yang akan saya wawancara adalah waria yang berprofesi sebagai pekerja seks,
namanya Alexis. Dari segi penampilan, dirinya lebih cantik dari saya (hahaha). Pertama
tiba, ia mengajak saya untuk membeli buah. Buah tersebut ia beli dengan uang
pribadi (yang pada akhirnya saya baru sadar, ternyata buah tersebut untuk saya
cicip ketika wawancara nanti). Saat tiba di tempat perjanjian, saya mengatakan
kepadanya bahwa saya lebih memilih untuk melakukan wawancara di kosannya saja. Tapi
ia menolak dan mengajak saya ke salon tempat kenalannya. Dari tempat perjanjian
menuju salon, kami harus naik bajaj dan saat akan turun, Alexis bersikeras
untuk membayar bajaj. Ketika sampai di
salon, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut tidak ingin direkam. Saya pribadi
merasa kebingungan untuk meyakinkannya. Namun pada akhirnya, ia memperkenalkan
saya dengan seorang waria lain dan waria tersebut bersedia diwawancara. Meski demikian,
saya tetap menghargai Alexis yang tidak ingin diwawancara.
Ketika saya
berpamitan pulang, Alexis memberi saya uang transport (biaya naik bajaj sampai
stasiun) tapi saya menolak. Saya bingung, mengapa sampai transport saya harus
dibayarkan. Berkali-kali saya menolak tapi Alexis tetap ingin memberi saya uang
tersebut yang akhirnya ia paksakan dengan memasukkan uang tersebut ke dalam
tas. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran Alexis yang dihabiskan karena
kedatangan saya sekitar 20rb lebih. Memang bukan jumlah yang besar bagi kita,
tapi tidak bagi mereka.
Selama
perjalanan pulang di dalam bajaj saya termenung. Kalau dibilang hubungan saya akrab
dengan Alexis, ya tidak juga. Hubungan kami sebatas kenal di mana saya adalah
mahasiswi yang sedang melakukan penelitian dan dia seorang waria remaja yang
bertempat tinggal daerah Jak-Sel. Cuma itu. Tetapi rasa memberi tanpa keterpaksaan
dan diterimanya saya sebagai seorang teman baginya adalah sesuatu yang sangat
berarti.
Ya, mari
kita terpikir sejenak. Berapa banyak dari kita yang memandang waria sebelah
mata? Berapa banyak dari kita yang sering mendengar waria dihina dan disakiti
baik secara fisik maupun psikis? Seberapa sering telinga kita mendengar seorang
waria yang diteriaki dengan Banci!!!! Banci!!!
Hingga dicemooh layaknya sampah?
Sungguh tak
pernah hadir di benak saya, suatu hari nanti saya akan ditraktir makan siang
oleh waria pengamen. Tak pernah terlintas di pikiran saya, akan diberikan biaya
transportasi untuk pulang yang bahkan saya bisa pulang tanpa uang tersebut.
Sungguh luar biasa, dikala rasa memberi dan saling
menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas...
Subscribe to:
Posts (Atom)