Tuesday, March 5, 2013

Ketika rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas


“alat rekam menjadi saksi bisu antara saya dan dia..”

Kali ini saya ingin sharing tentang pengalaman pribadi selama melakukan penelitian terhadap waria remaja di Jakarta. Sedikit cerita, saya akan menceritakan dua orang waria yang membuat perasaan saya tersentuh bahkan terharu. Semoga kisah ini dapat menginspirasi para pembaca sekalian.

            Terik menyengat, siang itu sekitar pukul 13.05 siang saya berdiri di depan gang sekitar Buncit. Tak lama setelah turun dari metromini saya segera menghubungi Yolanda untuk memberitahu bahwa saya telah tiba di depan gang rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan kos-kosan yang ia tinggali bersama tiga orang teman waria lainnya. Yolanda adalah seorang waria remaja yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen daerah Jakarta Selatan. Ia dikenal sebagai waria yang ramah karena pembawaannya yang sering bercanda. Kerap kali ia membari goyonan yang saya sendiri pun tak kuat menahan tawa. Sekitar 15 menit setelah saya menghubungimnya, akhirnya Yolanda datang juga. Ia mengenakan kemeja garis hitam putih dan celana hitam. Rambutnya yang sepanjang bahu dibiarkan terurai (lebih tepatnya rambut palsu). Saat melihat saya, ia terheran-heran karena saya datang hanya seorang diri. Yah, jelas saja saya sendiri berhubung penelitian yang saya kerjakan saat ini untuk skripsi. Lagipula, teman-teman yang lain juga memiliki kesibukan masing-masing. Pada akhirnya, mesti mandiri untuk mengerjakan penelitian ini. Ya toh?
            “say, kok sendirian?” Yolanda celingak celinguk bingung.
            “ya nggak apa-apa, sendirian aja. Temen aku yang lain pada sibuk.” Saya hanya tersenyum manis kepadanya. Mungkin Yolanda heran, apa saya tidak takut untuk datang sendirian.
            “udah makan? Kamu sukanya makan apa?” tanya Yolanda sembari masuk ke dalam gang.
            “udah, nggak usah repot-repot. Nanti aja say”
            “jauh-jauh kamu dateng ke mari. Makan dulu lah.” Yolanda masih memaksa.
Tak lama kemudian, Yolanda berhenti di depan warung Padang yang ada di dalam gang. Sepertinya ia sudah akrab dengan mas-mas penjual nasi Padang. Kerap kali saya menolak, tapi Yolanda bersikeras untuk membungkus makanan. Ketika akan membayar ke mas-mas nasi Padang, saya berniat untuk membayar dan mengeluarkan uang. Tapi langsung ditolak oleh Yolanda.
            “udah say, aku yang bayar.”
            “nggak usah lah, aku aja yang bayar” saya berusaha untuk membayar nasi Padang tersebut.
Pada akhirnya, Yolanda membayar nasi Padang untuk makan siang saya. Saya ingat betul, ia mengeluarkan uang receh seribu-dua ribu untuk membayar makanan tersebut. Ya, uang itu pasti uang hasil ngamennya. Sungguh tidak tega rasanya. Bukan karena gengsi, makan siang saya dibayarkan oleh seorang pengamen, tetapi saya sungguh tersentuh. Bagaimana mungkin orang yang masih berpikir besok akan makan apa, masih sempat membayarkan saya makan siang.

Satu bulan kemudian, saya bertemu janji dengan waria yang lain. Kali ini, waria remaja yang akan saya wawancara adalah waria yang berprofesi sebagai pekerja seks, namanya Alexis. Dari segi penampilan, dirinya lebih cantik dari saya (hahaha). Pertama tiba, ia mengajak saya untuk membeli buah. Buah tersebut ia beli dengan uang pribadi (yang pada akhirnya saya baru sadar, ternyata buah tersebut untuk saya cicip ketika wawancara nanti). Saat tiba di tempat perjanjian, saya mengatakan kepadanya bahwa saya lebih memilih untuk melakukan wawancara di kosannya saja. Tapi ia menolak dan mengajak saya ke salon tempat kenalannya. Dari tempat perjanjian menuju salon, kami harus naik bajaj dan saat akan turun, Alexis bersikeras untuk membayar bajaj.  Ketika sampai di salon, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut tidak ingin direkam. Saya pribadi merasa kebingungan untuk meyakinkannya. Namun pada akhirnya, ia memperkenalkan saya dengan seorang waria lain dan waria tersebut bersedia diwawancara. Meski demikian, saya tetap menghargai Alexis yang tidak ingin diwawancara.
Ketika saya berpamitan pulang, Alexis memberi saya uang transport (biaya naik bajaj sampai stasiun) tapi saya menolak. Saya bingung, mengapa sampai transport saya harus dibayarkan. Berkali-kali saya menolak tapi Alexis tetap ingin memberi saya uang tersebut yang akhirnya ia paksakan dengan memasukkan uang tersebut ke dalam tas. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran Alexis yang dihabiskan karena kedatangan saya sekitar 20rb lebih. Memang bukan jumlah yang besar bagi kita, tapi tidak bagi mereka.
Selama perjalanan pulang di dalam bajaj saya termenung. Kalau dibilang hubungan saya akrab dengan Alexis, ya tidak juga. Hubungan kami sebatas kenal di mana saya adalah mahasiswi yang sedang melakukan penelitian dan dia seorang waria remaja yang bertempat tinggal daerah Jak-Sel. Cuma itu. Tetapi rasa memberi tanpa keterpaksaan dan diterimanya saya sebagai seorang teman baginya adalah sesuatu yang sangat berarti.
Ya, mari kita terpikir sejenak. Berapa banyak dari kita yang memandang waria sebelah mata? Berapa banyak dari kita yang sering mendengar waria dihina dan disakiti baik secara fisik maupun psikis? Seberapa sering telinga kita mendengar seorang waria yang diteriaki dengan Banci!!!! Banci!!! Hingga dicemooh layaknya sampah?  
Sungguh tak pernah hadir di benak saya, suatu hari nanti saya akan ditraktir makan siang oleh waria pengamen. Tak pernah terlintas di pikiran saya, akan diberikan biaya transportasi untuk pulang yang bahkan saya bisa pulang tanpa uang tersebut.
Sungguh luar biasa, dikala rasa memberi dan saling menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas...

2 comments:

Giska Adilah Sharfina Saputra said...

kerennnnn b-g-t kaaa aaa pingin ketemu biar sharing lgs. *interesting*

Giska Adilah Sharfina Saputra said...

kerennn bgt kaaaaa *interesting*