Aku tak mengerti tentang konsep ketubuhan
Tapi kita, membuatnya jadi sebuah
kategori-kategori, lalu mengamininya
Ia terlihat sangat manis siang itu, meski terik buatnya
berkeringat bulir demi bulir. Aku menamainya Wanitapria. Rambutnya hitam
panjang dengan tinggi badan sekitar 160 cm. Mungkin berat badannya sekitar 55
kg. Sepertinya. Ia memiliki buah dada ukuran sedang, seperti gadis remaja yang
duduk di bangku sekolah menengah. Riasan wajahnya terlihat rapih. Baru saja
selesai bekerja menjadi “artis keliling” di daerah setempat. Wanitapria
bukanlah sosok sinis maupun matrealistis. Ia pribadi ramah kepada siapa saja
yang menghargai dirinya apa adanya.
Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu, di tengah
aksara-aksara melayang antara aku dan Wanitapria. Pengakuan-pengakuan, yang
entah dosa atau bukan. Aku menamainya sebagai berbagi. Tak banyak yang aku
ceritakan kepada Wanitapria tentang diriku, tapi aku mendapatkan kisah yang
berlalu lalang darinya. Di tempat inilah, Wanitapria melayani pria-pria yang
haus. Di tempat inilah Wanitapria juga berbagi kasih dengan pria pujaannya,
seorang pria berkepala empat – yang aku tak tahu siapa namanya.
“dia akan menikah. Pacarku.” Aku tertegun. Hanya menatap
mata Wanitapria lekat-lekat. Tampak kesabaran erat keikhlasan dari raut
wajahnya. “saya ikhlas.” Ujar Wanitapria
lagi.
“kenapa bisa ikhlas? Kamu menerima ini semua?”
saya tak habis pikir. Seseorang bisa mencintai tapi melepaskan hal yang
dicintainya. Bukankah cinta itu harus memiliki? Rasanya terlalu naif untuk
mengamini apa yang disebut ‘cinta tak harus memiliki’.
“nggak apa-apa. Saya rela. Dia telah menemukan
seorang wanita yang bisa membahagiakan dia. Bahkan mampu memberikan anak. Sementara
saya tidak.” Wanitapria berwajah sedih. Tapi berusaha untuk kuat. “kalo saya
bisa punya anak, udah lama saya nikah sama dia. Tapi saya sadar, saya bukan
perempuan yang bisa ngasih itu.”
(saya diam)
(Wanitapria diam)
“lalu, kemu membiarkan dia menikah?” saya tahu
betul, Wanitapria pernah bercerita jikalau hubungan mereka sudah terjalin 5
tahun lamanya. Dan segalanya retak begitu saja. Dengan wajah tanpa bahara tanpa
asa.
“saya tahu, dia masih sayang sama saya. Meski nanti
dia udah nikah sama istrinya. Toh sampe detik ini dia perhatian banget sama
saya.” Wanitapria masih berusaha untuk meyakinkan saya bahwa merelakan sesuatu
adalah mudah adanya.
Wanitapria mencintai pekerjaannya sebagai penyanyi
keliling. Wanitapria juga mencintai pekerjaannya sebagai pemuas hasrat. Wanitapria
tampak manis, payudara yang utuh, dan pinggul yang cukup ramping. Ia melanjutkan
ceritanya. Kini bukan tentang cinta. Tetapi tentang doa-doa.
“kamu tahu? Saya sholat dengan kondisi laki-laki. Rambut
saya ikat, pake baju koko, dan sarung. Di hadapan Tuhan, saya kembali pada asal
saya, laki-laki.”
(saya menyimak)
“mungkin kamu akan kaget, atau tertawa melihat
saya sholat.”
“hm, mungkin.” Tidak ada jawaban yang tepat. Semuanya
terlontar begitu saja.
“bahkan saya mau dikuburkan dalam kondisi
laki-laki.”
*
Mengubah bentuk, mulai ujung kaki hingga ujung rambut, mungkin belum dapat
menghapus stigma. Wanitapria merasakannya sebagai perempuan, tapi seperti ada
dinding putih transparan, yang tak dapat dilihat oleh siapa pun. Ditembus siapapun.
Wanitapria menyebutknya sebagai suatu kerelaan, dengan kalimat “tak dapat
memberikan anak.”
*
Mengubah apa pun, belum bermakna mengganti segala apa yang benar-apa yang
tidak benar. Aku mengatakannya bukan mengarti ragu. Hanya terlalu sendu. Pilu.
No comments:
Post a Comment