“alat rekam menjadi saksi bisu antara saya dan dia..” |
Kali ini saya ingin sharing
tentang pengalaman pribadi selama melakukan penelitian terhadap waria
remaja di Jakarta. Sedikit cerita, saya akan menceritakan dua orang waria yang membuat
perasaan saya tersentuh bahkan terharu. Semoga kisah ini dapat menginspirasi
para pembaca sekalian.
Terik menyengat,
siang itu sekitar pukul 13.05 siang saya berdiri di depan gang sekitar Buncit. Tak
lama setelah turun dari metromini saya segera menghubungi Yolanda untuk memberitahu
bahwa saya telah tiba di depan gang rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan
kos-kosan yang ia tinggali bersama tiga orang teman waria lainnya. Yolanda adalah
seorang waria remaja yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen daerah
Jakarta Selatan. Ia dikenal sebagai waria yang ramah karena pembawaannya yang
sering bercanda. Kerap kali ia membari goyonan
yang saya sendiri pun tak kuat menahan tawa. Sekitar 15 menit setelah saya
menghubungimnya, akhirnya Yolanda datang juga. Ia mengenakan kemeja garis hitam
putih dan celana hitam. Rambutnya yang sepanjang bahu dibiarkan terurai (lebih
tepatnya rambut palsu). Saat melihat saya, ia terheran-heran karena saya datang
hanya seorang diri. Yah, jelas saja saya sendiri berhubung penelitian yang saya
kerjakan saat ini untuk skripsi. Lagipula, teman-teman yang lain juga memiliki
kesibukan masing-masing. Pada akhirnya, mesti mandiri untuk mengerjakan
penelitian ini. Ya toh?
“say,
kok sendirian?” Yolanda celingak celinguk bingung.
“ya nggak
apa-apa, sendirian aja. Temen aku yang lain pada sibuk.” Saya hanya tersenyum
manis kepadanya. Mungkin Yolanda heran, apa saya tidak takut untuk datang
sendirian.
“udah
makan? Kamu sukanya makan apa?” tanya Yolanda sembari masuk ke dalam gang.
“udah,
nggak usah repot-repot. Nanti aja say”
“jauh-jauh
kamu dateng ke mari. Makan dulu lah.” Yolanda masih memaksa.
Tak lama kemudian, Yolanda berhenti di depan warung
Padang yang ada di dalam gang. Sepertinya ia sudah akrab dengan mas-mas penjual
nasi Padang. Kerap kali saya menolak, tapi Yolanda bersikeras untuk membungkus
makanan. Ketika akan membayar ke mas-mas nasi Padang, saya berniat untuk
membayar dan mengeluarkan uang. Tapi langsung ditolak oleh Yolanda.
“udah
say, aku yang bayar.”
“nggak
usah lah, aku aja yang bayar” saya berusaha untuk membayar nasi Padang
tersebut.
Pada akhirnya, Yolanda membayar nasi Padang untuk makan
siang saya. Saya ingat betul, ia mengeluarkan uang receh seribu-dua ribu untuk
membayar makanan tersebut. Ya, uang itu pasti uang hasil ngamennya. Sungguh tidak
tega rasanya. Bukan karena gengsi, makan siang saya dibayarkan oleh seorang
pengamen, tetapi saya sungguh tersentuh. Bagaimana mungkin orang yang masih
berpikir besok akan makan apa, masih sempat membayarkan saya makan siang.
Satu bulan
kemudian, saya bertemu janji dengan waria yang lain. Kali ini, waria remaja
yang akan saya wawancara adalah waria yang berprofesi sebagai pekerja seks,
namanya Alexis. Dari segi penampilan, dirinya lebih cantik dari saya (hahaha). Pertama
tiba, ia mengajak saya untuk membeli buah. Buah tersebut ia beli dengan uang
pribadi (yang pada akhirnya saya baru sadar, ternyata buah tersebut untuk saya
cicip ketika wawancara nanti). Saat tiba di tempat perjanjian, saya mengatakan
kepadanya bahwa saya lebih memilih untuk melakukan wawancara di kosannya saja. Tapi
ia menolak dan mengajak saya ke salon tempat kenalannya. Dari tempat perjanjian
menuju salon, kami harus naik bajaj dan saat akan turun, Alexis bersikeras
untuk membayar bajaj. Ketika sampai di
salon, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut tidak ingin direkam. Saya pribadi
merasa kebingungan untuk meyakinkannya. Namun pada akhirnya, ia memperkenalkan
saya dengan seorang waria lain dan waria tersebut bersedia diwawancara. Meski demikian,
saya tetap menghargai Alexis yang tidak ingin diwawancara.
Ketika saya
berpamitan pulang, Alexis memberi saya uang transport (biaya naik bajaj sampai
stasiun) tapi saya menolak. Saya bingung, mengapa sampai transport saya harus
dibayarkan. Berkali-kali saya menolak tapi Alexis tetap ingin memberi saya uang
tersebut yang akhirnya ia paksakan dengan memasukkan uang tersebut ke dalam
tas. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran Alexis yang dihabiskan karena
kedatangan saya sekitar 20rb lebih. Memang bukan jumlah yang besar bagi kita,
tapi tidak bagi mereka.
Selama
perjalanan pulang di dalam bajaj saya termenung. Kalau dibilang hubungan saya akrab
dengan Alexis, ya tidak juga. Hubungan kami sebatas kenal di mana saya adalah
mahasiswi yang sedang melakukan penelitian dan dia seorang waria remaja yang
bertempat tinggal daerah Jak-Sel. Cuma itu. Tetapi rasa memberi tanpa keterpaksaan
dan diterimanya saya sebagai seorang teman baginya adalah sesuatu yang sangat
berarti.
Ya, mari
kita terpikir sejenak. Berapa banyak dari kita yang memandang waria sebelah
mata? Berapa banyak dari kita yang sering mendengar waria dihina dan disakiti
baik secara fisik maupun psikis? Seberapa sering telinga kita mendengar seorang
waria yang diteriaki dengan Banci!!!! Banci!!!
Hingga dicemooh layaknya sampah?
Sungguh tak
pernah hadir di benak saya, suatu hari nanti saya akan ditraktir makan siang
oleh waria pengamen. Tak pernah terlintas di pikiran saya, akan diberikan biaya
transportasi untuk pulang yang bahkan saya bisa pulang tanpa uang tersebut.
Sungguh luar biasa, dikala rasa memberi dan saling
menghargai menjadi tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa kelas...
2 comments:
kerennnnn b-g-t kaaa aaa pingin ketemu biar sharing lgs. *interesting*
kerennn bgt kaaaaa *interesting*
Post a Comment