Monday, January 31, 2011
Luwu, South Sulawesi - Indonesia
Gift Giving in Anthropological Perspective by John F. Sherry, Jr
Just click the title and download it for free :)
Info:
Gift Giving in Anthropological Perspective
Author(s): John F. Sherry, Jr.Source: The Journal of Consumer Research, Vol. 10, No. 2 (Sep., 1983), pp. 157-168
Gifts, Commodities, and Social Relations: A Maussian View of Exchange by James Carrier
Happy reading, happy studying
Enjoy :)
info:
Gifts, Commodities, and Social Relations: A Maussian View of Exchange
Author(s): James CarrierSource: Sociological Forum, Vol. 6, No. 1 (Mar., 1991), pp. 119-136Published by: SpringerStable
Sunday, January 30, 2011
Wednesday, January 26, 2011
Sunday, January 16, 2011
Saturday, January 15, 2011
Anywhere
Malangke village-Palopo, South Sulawesi
(Caption: When I'm still primary school maybe in 2001, we need jonson (small boat with diesel machine) from Palopo city. Last time I go to that village in 2010 and there's no waterways. So just land ways and some of the road have using concrete. Most of people in there using wooden house to life although some of them using stone house)
Thursday, January 13, 2011
Bergerak Lenyap akan suatu yang kelam
Rheina menatap gantungan hp itu. Kecil dan mungil. Biru bergambar tokoh kartun kegemaran anak-anak. (Doraemon)
Dulu, senyuman selalu menghiasi tatapan Doraemon. Tapi tidak sekarang. Luntur dan Kering.
Hanya asa dan perih yang terlintas saat mengingat berbagai gumpalan kenangan bersama benda itu.
"dulu iya, tidak sekarang" ujar Rheina sembari melepas gantungan itu. Sakit iya, tapi harus. Bukan hanya melepaskannya dari hp namun sekaligus melepas segala memori yang terlekat di hati Rheina.
Januari 2009
Awal tahun baru yang dimulai dengan rasa yang imajiner dan kosong. Untuk sekian kali pipi Rheina basah akan tangisan. Tidak kali ini.
Ia harus bertindak tegas akan segalanya. Termasuk membunuh segala ingatannya akan si doraemon serta orang di baliknya.
Sedih memang tapi tidak mungkin akan terus seperti itu.
"sudahlah" Rheina menghela napas panjang dan meletakkan benda itu ke suatu tempat yang takkan ia lirik lagi.
Pikiran Rheina berkecambuk antara marah dan pasrah. Mungkin sudah takdirnya begini. Mungkin akhir dengan kehadiran "seseorang baru" menjadi segelintir rasa pahit di ujung hubungan. Mungkin Rheina adalah penengah yang akan mengantarkan kekasihnya itu ke tangan yang lain. Tangan yang lebih tepat nan lekat. Rheina mengakui bahwa ini bukan kisah yang kental akan rasa manis. Karena berakhir dengan bisu dan sembilu.
"kepada video yang dibuatkan khusus untukku, buku buatan tangan khusus buatku, lampu doraemon bersama dorami, dan semuanya..terima kasih" sahut Rheina merapikannya dan menyimpannya. "sudah saatnya kalian beristirahat dan bersembunyi untuk waktu yang lama. Sudah lelah kalian bermain di antara senang dan gembiraku"
Rheina terperanjat. Mengucapkan syukur. Bahwa ia masih memiliki berbagai orang di belakangnya. Keluarga dan teman-teman yang tak dapat ia sebutkan satu persatu. Semuanya memiliki peran masing-masing untuk bermain dalam kisah pendek Rheina. Semuanya sebagai protogonis di tengah bagian yang tragis.
"untuk seorang wanita yang sempat menganggap saya adalah perebut lelakimu, ambillah dia. pergilah." Rheina berdeham sejenak. "aku telah memutuskan untuk memilih jalanku sendiri. Sungguh bodohnya aku untuk menunggu keputusan orang lain. Mengharapkan jawaban orang lain. Tidak. Inilah hidupku dan akulah yang putuskan jalanku"
Rheina berjalan pelan, pergi meninggalkan segala pahitnya. "ini akan berubah menjadi manis bila tiba pada waktunya" ucapnya sambil tersenyum getir.
Tuesday, January 11, 2011
Malam - 11:27
Bernyanyi di tengah api menyala
Panas dan meleleh di antara gelap yang tajam
Meringkuh tak bertenaga
Seakan aku ingin marah dalam bayangan kosong
Tak ingin aku membuat catatan sejarah hidup yang penuh kemurkaan
Protes akan keadaan semu – tak nyata
Bersembunyi di gunung penuh semak perdu pun takkan mampu…
Takkan mampu membangunkan catatan yang kian lelah akan kehidupan
Berjuang dalam putihnya bait dan baris
Tak mampu lagi aku mengandalkan tangan kuat itu
Begitu rapuh dan lemah... bahkan hanya untuk menorehkan tulisan-tulisan kecil
Gemercik yang kian lenyap semakin buat pita suaraku tercekik
Kuatnya nada kian layu dan kelu
Layaknya sebuah catatan kosong tanpa perjuangan
Langit seakan memberi wajah berbeda..begitu datar tanpa sahutan
Begitu sayup dan tak terdengar
………………
Mati
Hembusan terasa semakin pelan dan tak terasa manisnya – hambar
Kalut
Ketenangan hanyalah menjadi sebuah risau dalam alunan yang berbeda
Ya, berbeda…
Jiwa yang rayu - patetis - tragis
Untuk sayap-sayap biru bening dan mudah retak
Disitulah aku memanggilmu..
Saat dinamika kian riuh dan tak berarti
Untuk secangkir kopi dingin tak beraroma
Tak pekat dan tak lekat akan nilai keadilan
Begitu luntur nan lentur akan sebuah kepiawaian
Untuk sebuah nadi-nadi tak berdarah
Aliran yang terhenti akan cinta dan mesra
Miris mengiris tak berdaya
Terlena… (pasrah)
Untuk bunga tak berkelir
Letih akan rona
Bias tak berarti..
(saat langkah tak tertuju, tempat penuh dengan buku, riuh lalu lalang di sebuah kota berpolusi)