“gimana kalo kita umroh
nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh
tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua
kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar
untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat
menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh
semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin
seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir
saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya
berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut
ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah
namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si
pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil
(usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok
bu Faizah.
sepulang dari umroh dan akhirnya
bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk
bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak
hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang
pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita
tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit
pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran
dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali
beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat
ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras
berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi
mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis
alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan
semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang
menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal
daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin
saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan
diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil
nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang
bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya
jabatan dan kuatan.
Hidup sangat berkecukupan tapi tetap
merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang
berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang
orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena
merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul
seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai
hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah
di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta
namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang
dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada
pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya
dalam memandang hidup.