“kehilangan seseorang seperti
kehilangan tangan yang sebelah. Seperti kurang lengkap”
Bulan lalu, tepatnya tanggal 23
Januari saya berkesempatan untuk melakukan presentasi bersama teman-teman
lainnya di hotel FM7 yang tak jauh (bahkan sangat dekat) dari bandara
Soekarno-Hatta. Di sana, saya dan ketiga teman yang berada di bawah naungan
pembimbing mempresentasikan hasil sementara penelitian skripsi. ya, setidaknya kami sempat dag-dig-dug juga. Karena
merasa penelitian sementara masih sangat dangkal. Apalagi presentasinya di
depan para professor. Sebut saja, guru besar dari universitas Amsterdam (sebut
saja Bu Prof Amsterdam), serta prof dari Univ.Hasanuddin Makassar.
|
"Susana Hotel FM7"
Foto diperoleh dari:
http://www.hotels.com/ho324660/fm7-resort-hotel-jakarta-indonesia/ |
Presentasi ini dilatarbelakangi oleh si Bu Prof Amsterdam yang sedang
melakukan penelitian di lima negara. Penelitian dapat dikatakan sebagai
penelitian yang cukup besar karena juga didanai oleh negara kincir angin itu. So
far, keren abis lah si Bu Prof Amsterdam bisa nembus proyeknya untuk didanai
negara. Mengingat penelitian ini masih jarang dilakukan (antropologi medis),
maka Bu Prof Amsterdam dan Makassar ingin melihat sejauh mana hasil yang sudah
kami peroleh dalam penelitian. Saya dan ketiga teman lain memiliki objek yang
berbeda. Ada yang meneliti tentang waria, pelajar akademi, penjaja seks, maupun
pekerja salon.
Presentasi yang kami pikirkan “formal dan menegangkan” ternyata seperti
diskusi biasa saja. Ketika kami tiba di hotel, kami memasuki ruangan rapat yang
sudah disiapkan proyektor. Nuansa ruangan juga sangat “nyaman”. Nyaman yang
saya maksud di sini adalah: format kursi letter U, AC dingin mantap, makanan
terus merayap satu persatu memasuki ruangan. Pokoknya TOP BGT deh. Suasana diskusi
sangat menyenangkan. Kami memprestasikan hasil penelitian masing-masing dan
mendapatkan masukan dari para Prof tersebut. Oh ya, saya lupa menyisipkan tokoh
lain. Dalam ruangan tersebut juga ada pembimbing skripsi dan salah satu dosen
dari Sosiologi yang ingin melanjutkan post doktoral di Malaysia.
Presentasi sempat di potong pada jam istirahat. Kami makan siang bersama di
restoran hotel. Apa rasanya makan semeja bersama para peneliti. Saya sendiri
tidak terbayang duduk makan bersama mereka serta mendengarkan obrolan satu
dengan yang lain. Saya lebih banyak diam dan berbincang bersama dosen
pembimbing. Mengingat belum akrab dengan para bu Prof. Paling, saya hanya
bertanya terkait penelitian yang dilakukan Bu Prof Amsterdam. Ia mengatakan
bahwa sedang mencari tambahan peneliti karena memang penelitian yang dilakukan
adalah jangka panjang. “And you must prove your English” begitu katanya menutup perbincangan sambil
tersenyum ramah.
Pukul 16.00 sore. Kami berempat pulang dan ikut bersama si dosen Sosio. Kebetulan
beliau bawa mobil dan pulang arah srengseng. Saat masuk mobil, saya membuka
pembicaraan. Mulai dari kegiatan penelitian saat ini dan studi apa saja yang
telah beliau raih. Dulunya Bu Dosen ini (sebut saja begitu) S1 di Sosio. Lanjut S2 dan S3 di Amsterdam melalui beasiswa. Saat ini berencana untuk
ambil post doktoral di Malaysia akhir bulan Januari. Kalo dilihat-lihat dari
face nya sih mungkin beliau saat ini berusia 40-an tahun. Tapi mukanya masih
keliatan muda kok. Selama perjalanan, Bu Dosen banyak sharing pengalaman. Dulunya,
tema skripsinya tentang keputihan pada kalangan PSK di bawah umur.
Cerita lanjut cerita, kami bercerita tentang Bu Prof dari Amsterdam. Ternyata
suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dari pernikahannya tersebut
dikaruniai satu orang anak. Saat ini Bu
Prof Amsterdam sibuk melakukan penelitian kesana kemari. Anaknya sih mungkin
udah mandiri kali ya ditinggal mama nya. Kalau dipikir-pikir, Bu Prof Amsterdam
ternyata punya memori “kehilangan” di balik wajah ramahnya. Tak lama kemudian,
teman-teman saya yang lain turun dari mobil. Sisa saya yang terakhir duduk
menumpang. Saya pun menceritakan tante teman saya yang suaminya meninggal
beberapa minggu setelah menikah. Kemudian, suasana agak hening. Saat Bu Dosen
yang menyetir memandang ke depan dan mengatakan dengan santai .
“suami saya juga sudah meninggal dua tahun yang lalu”. Ia tak terlihat
sedih. Perbincangan ini seperti diskusi santai di tengah keheningan mobil yang
terus melaju dalam gerimis yang terus menurus.
“suami saya kena serangan jantung. Gak lama setelah naik sepeda. Kami pacarannya
lama, 16 tahun. Ya pacarannya lama soalnya agak susah juga ya, beda agama kita.
Lucunya, pacaran 16 tahun, nikahnya baru 5 tahun. Temen-temen saya suka
ngeledek gitu.” Saya terdiam.
|
"sebuah memori dalam hujan yang gerimis"
Foto diperoleh dari: lifehacker.com |
“sekarang saya tinggal sama ponakan
aja. saya gak punya anak. Nikah juga telat kan, 37 tahun.” Saya cuman bisa
ngangguk melihatnya dari belakang terus mengemudi dalam kondisi santai. Saya tak
tahu betul, ia santai dalam sedih atau bagaimana.
“suami saya meninggal pas ketika saya mau sidang S3 di Belanda. Sempat bingung
juga harus lanjut atau nggak. Tapi saya punya dua pilihan, sedih mengenang
suami saya atau terus maju dan selesaikan S3 yang sebentar lagi. Selama di sana
saya fokus untuk selesaikan. Baru deh, setelah semua selesai berasa dia udah
nggak ada. Berasa tadi malam baru planing ini itu, besoknya dia udah meninggal.”
Saya tidak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya hanya terbengong-bengong
melihat Bu Dosen yang nampak tangguh di balik stir.
Saya pun berucap: “saya salut dengan orang-orang yang tangguh yang terus
bergerak dan move on meski telah kehilangan pasangan hidup. Jujur, saya salut.”
Mobil terus melaju di tengah keheningan antara saya dan Bu Dosen. Hanya gerimis
yang berdiskusi. Bernyanyi kecil. Menemani kami di tengah bisu dan haru.
Ya, banyak di antara kita yang pernah
merasakan kehilangan. Tapi tidak banyak darinya yang mau untuk move on,
berjalan, dan terus meraih cita dan harap. Bagaimana mungkin seseorang yang
telah kehilangan seorang suami bisa begitu tangguh untuk langsung terbang ke
Belanda dan menyelesaikan S3? Lagi-lagi, si tangguhlah yang sanggup untuk terus
melangkah bahkan berlari. Tak berlarut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Tapi
terus melaju menerima dan menggapai. Apakah Anda termasuk dalam bagiannya?