Semenjak
saya menjadi freelancer studio fotografi, saya mengenal seorang supir taxi
langganan bos saya. Saya baru mengenalnya sekitar awal tahun 2014. Usianya
sudah hampir mendekati kepala empat. Tubuhnya agak gemuk dan kepalanya botak
plontos. Seringkali ia mengenakan peci namun ia sendiri tidak menumbuhkan
jenggot apalagi kumis. Wajahnya terlihat bersih dan pembawaannya ramah. Ia
sering bolak balik studio untuk mengantar bos saya. Tidak hanya mengantar,
pembawaannya yang ramah juga membuat dirinya dekat dengan si bos. Buktinya, ia
sering masuk ke studio meski hanya duduk dan menyeruput secangir kopi. Saya
pribadi sebagai anak baru mencoba untuk dekat dengan Pak Junawa (nama
disamarkan). Kedekatan makin terasa karena Pak Junawa senang guyon dan saya
yang juga menimpali.
Cukup
banyak hal yang saya ketahui tentang kehidupan Pak Junawa. Ia dulunya seorang
pemimpin dalam sebuah kantor di bagian listrik. Ia lulusan S1 elektro dan
sekarang ia memutuskan untuk menjadi seorang supir taxi. Mengapa jadi supir
taxi? Ceritanya begini. Ketika ia menjabat menjadi kepala kelistrikan, anak
buahnya tersetrum kabel telanjang dan membuat pekerjanya tersebut meninggal.
Sekitar 7 orang meninggal ketika kejadian tersebut.
Ada
2 orang yang masih sempat meninggalkan pesan akhir. Orang pertama: ingin
dikuburkan ke kampung halaman. Orang kedua: meminta untuk anak istrinya dijaga.
Pak Junawa kemudian mengerjakan permintaan kedua pekerjanya tersebut. Orang
pertama dibawa ke kampung halaman dimana Pak Junawa sendiri yang membawa
kendaraan. Sementara orang kedua, hingga saat ini masih dibiayai anak dan
istrinya oleh Pak Junawa sebagai bentuk tanggung jawab. Pak Junawa pribadi
tidak ingin menikahi si janda beranak satu tersebut. Baginya, itu adalah
tanggung jawab yang harus diemban hingga akhir hayat. Namun bagaimana pun,
seorang janda yang ditinggal seorang suami dan melihat ada laki-laki yang
bertanggung jawab justru makin tertarik. Bagaimana tidak, ia minta dinikahi
oleh Pak Junawa. Tetapi Pak Junawa menolak. Hal yang juga mengejutkan adalah,
istri Pak Junawa merelakan untuk dimadu. Sontak Pak Junawa menolak. Ia tidak ingin
poligami. Singkat cerita, saat ini Pak Junawa menanggung si janda beserta anak
dan anak istri Pak Junawa.
Selepas
kepergian anak buahnya yang meninggal di depan matanya tersebut, Pak Junawa
mengalami traumatik dan tidak ingin bekerja di bidang listrik lagi. Ia
menghukum dirinya untuk bekerja sebagai supir taxi di Jakarta.
Suatu
hari Pak Junawa tidak muncul lagi di studio. Ia jarang datang, hingga akhirnya
tak muncul. Belakangan saya ketahui, ia pulang kampung untuk mengurus proses
perceraiannya dengan sang istri. Ia memiliki 2 orang anak perempuan dan
nantinya anak tersebut diambil hak asuk oleh sang istri. Pak Junawa mendapat
pinjaman uang dari si bos untuk pulang ke kampung. Usut punya usut, istrinya
telah memiliki kekasih lain dan sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan Pak
Junawa yang sibuk mencari uang di Jakarta. Hm, kalau dipikir-pikir LDR (long
distance relationship) untuk orang yang berkeluarga sangat berat ya. Sekitar 1
bulan Pak Junawa tak ada kabar. Hilang dari peredaran.
Saya
sudah tidak melihat Pak Junawa lagi sekitar 1,5 bulan. Nomor HP nya pun sudah
tak aktif lagi. Hingga akhirnya saya terkejut, saat melihat Pak Junawa di
studio bersama si bos. Saya tidak banyak bertanya dan lebih bertegur sapa saja.
Saya hanya mendengar kabar dari kawan di studio, bahwa proses perceraian Pak
Junawa telah selesai. Si anak sendiri juga mengetahui bahwa ibunya telah
berselingkuh dengan laki-laki lain. Kini, Pak Junawa kembali menjadi bujang. Ia
berusaha tegar, namun ada kekosongan di dalamnya. Hal terberat adalah ketika
harus berkelana sendiri di Jakarta kota metropolitan dengan pendapatan tak
seberapa, ditambah perceraian yang menimpanya, belum lagi dengan anaknya yang
mungkin akan sulit ia temui lagi.
Pertengahan
tahun 2014. Pacar saya datang ke Jakarta dan menginap di hotel Zodiak.
Berhubung ia pergi karena urusan kantor, saya lah yang pergi ke sana untuk
bertemu. Berencana untuk jalan-jalan ke Kemang hingga akhirnya kami harus
selesai larut malam karena tersasar. Sekitar pukul 10 malam saya harus stay di
hotel untuk menunggu Pak Junawa menjemput. Kebetulan ia sedang kosong dan bisa
datang ke hotel Zodiak menjemput saya. Sekitar pukul 10.30 malam Pak Junawa
tiba. Ia menatap saya curiga. Larut malam di hotel bersama pacar saya. Ya,
tidak dapat dipungkiri orang lain akan berpikir apa dengan melihat kondisi saya
saat itu. Andai dia tahu, bahwa saya dari Kemang dan tersasar karena mencari
sebuah alamat.
Saya
masuk ke dalam taxi dan duduk di depan. Bagi saya Pak Junawa bukanlah orang
asing dan tidaklah pantas bagi saya untuk duduk di belakang. Bermula
bincang-bincang tentang kemacetan Jakarta, hingga akhirnya obrolan berujung pribadi.
“mba Icha tahu Rara?” (nama si
wanita disamarkan).
“ya aku tahu. Cewek langganan bapak
itu kan.” Rara adalah pelanggan tetap Pak Junawa. Hampir setiap hari Rara
berlangganan. Dari rumah ke kampus, kampus ke rumah, hingga untuk urusan
jalan-jalan. Pak Junawa bagai supir pribadi.
Rara adalah anak orang kaya tapi sang ayah telah meninggal. Ia tinggal
bersama ibunya dimana sang ibu juga sudah mengenal dekat Pak Junawa.
“Rara hamil mbak. Hamil di luar
nikah. Pergaulannya begitu kan.”
“wah, emang tuh anak nggak main aman
pak? Haha” saya berusaha santai
“halah. Yang anak aman-aman aja juga
bakal kebobolan kan” tidak tahu apakah pak Junawa menyindir saya karena saya
pulang malam dari hotel bersama pacar.
“ya paling nggak, si Rara itu main
amanlah biar nggak hamil. Terus kata mamanya apa Pak?”
“saya nggak tahu. Udah nggak kontak
dengan mereka lagi.”
“ohh..gitu”
Perbincangan
terus berlanjut hingga akhirnya Pak Junawa memulai kalimat,
“mbak Icha tahu nggak, janda itu
lebih nggak bisa nahan hasrat dibanding duda”
“bukannya malah sebaliknya?
Laki-laki yang nggak bisa nahan nafsu. Makanya ada yang bilang perempuan bisa
hidup dengan kekasihnya tanpa sex, sementara laki-laki bisa berpacaran dengan
seorang cewek tanpa rasa cinta tapi yang penting bisa nge sex”
“nggak gitu. Janda itu gatel mbak.”
“nggak ah” saya masih mempertahankan
statement.
“kalau nggak gatel nggak mungkin dia
bisa bertingkah” Pak Junawa mulai celoteh. “kalau nggak gatel, ngapain mamanya
Rara naro tangannya di penis saya” Pak Junawa juga mempertahankan argumen.
“mamanya Rara minta dilayani. Tapi saya nggak mau dibayar. Saya mau melayani
tapi saya nggak mau kalo dikasih uang. Saya nggak butuh.” Saya terdiam
mendengar cerita Pak Junawa. “banyak yang begitu mbak. Para Janda itu emang
gatel. Minta dilayanin. Tapi saya sih nggak mau pungut biaya.”
“hmm gitu” artinya, bukan hanya 1-2
janda. Baiklah. Satu gambaran lain tentang Pak Junawa. Satu sisi yang berbeda.
Satu torehan baru yang saya ketahui tentang dirinya.
“bagi saya sama-sama puas udah
cukup. Saya marah kalo dibayar.”
“hmm gitu” otak saya berpikir cepat.
Artinya pak Junawa tetap memasang harga diri tanpa adanya tarif. Tetap terlihat
wibawa, juga cukup “mahal” untuk memperoleh “pelayanan”.
“saya lagi deket sama perempuan
mbak. Orangnya bawel banget. Dia ngundang saya makan malam di rumahnya. Tapi
saya nggak bisa karena harus jemput mbak.”
“waaah, saya minta maaf deh pak.
Hehe.”
“orangnya ya gitu deh. Bawel. Gatel
juga dia. Haha”
Selepas
itu, perjalanan yang sebentar lagi tiba di rumah, Pak Junawa mengisinya dengan
candaan tentang pacar barunya itu. Ia mengaku sudah trauma dengan perempuan cantik.
Katanya, waktu dia sedang masa jaya, istrinya sangat perhatian dan cinta mati.
Tetapi ketika ia menjadi jatuh dan runtuh, seolah cinta itu sirna. Sang istri
lebih banyak menuntut dan tidak memberikan dukungan moril. Sekarang, pacar
barunya tersebut berbadan gemuk dan tidak terlalu cantik. Well, candaan
tersebut menjadi bumbu menarik menutup perbincangan kami di tengah heningnya
malam di hari Sabtu.
Setibanya
di rumah, saya hanya bisa menghela napas panjang. Baru saja saya mengetahui
cerita lain dari kehidupan Pak Junawa. Sisi yang tidak saya ketahui sebelumnya.
Saya tidak ingin menjadi orang yang sok suci dan menyalahkan apalagi menghakimi
Pak Junawa. Hal terpenting adalah
belajar. Kita bisa belajar dari siapa pun. Dari orang yang memiliki profesi
atas hingga bawah. Dari orang terpelajar hingga tak berpendidikan. Ya, setiap
manusia punya sisi hitam. Setiap manusia punya kisah pahit. Hidup ini
mengajarkan kita untuk menjadi orang yang bijak. Menjadi orang yang matang. Menjadi
orang yang tangguh. Sabar. Bersyukur. Pemaaf.
Kita
bisa jadi hitam saat mengikuti hitam. Dan menjadi putih saat berkomitmen untuk
mengambil putih. Pilihan ada di genggaman masing-masing. Untuk memilah dan
memilih.
Setelah
kejadian itu, saya tidak bertemu dengan Pak Junawa lagi. Ia juga tak
memunculkan batang hidung di studio semenjak ada “pertengkaran kecil” dengan si
bos. Nomor Pak Junawa sudah tidak aktif lagi. Pak Junawa tak kuketahui
keberadaannya. Hingga saat ini.