Wednesday, May 22, 2013

Berbagai pengalaman, berbagi ilmu


“gimana kalo kita umroh nanti akhir Januari?”
Kalimat itu terlontar dari ibu saya saat mengajak untuk berangkat umroh tahun ini. Berhubung saya sedang mengerjakan skripsi, lantas saya berpikir dua kali untuk menyetujui ajakan tersebut. Sebenarnya, saya tidak ada niatan besar untuk berangkat. Aneh sekali, mestinya saya sangat bergembira untuk berangkat menuju tanah suci. Pengalaman luar biasa, yang mungkin tak dapat dirasakan oleh semua orang. Ini kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan.
“Hm, coba keliling Eropa atau ke Thailand gitu, pengen banget” . Mungkin seperti itu jawaban saya saat mendapat tawaran untuk umroh. Kalau dipikir-pikir saya anak gak tau diri banget ya (Hehe). Beberapa hari setelah itu saya berpikir dan tenang sejenak. Yasudahlah, ikut saja. Kualat namanya gak ikut ajakan orang tua. Kapan lagi?
Pada saat akan berangkat, saya bertemu dengan seorang ibu muda, bu Faizah namanya. Orangnya tampak dingin dan tegas. Belakangan saya ketahui, dia adalah si pemilik dari travel umroh. Asisten rumah tangga sekaligus 3 orang anak kecil (usia 5-12 tahun) ikut bersama untuk umroh. Disanalah saya mulai mengenal sosok bu Faizah.

sepulang dari umroh dan akhirnya bertemu lagi..
Tak terbayang, saat itu saya sudah berada di rumah bu Faizah untuk bersilaturrahim. Rumah yang berada di daerah Pondok Indah tersebut tampak hangat malam itu. Saya berbincang-bincang dengannya dan mulai belajar tentang pengalaman hidupnya.
Menarik kembali jarum waktu dan melontarkan kisah lama. Bu Faizah bercerita tentang kisah hidupnya hingga dapat seperti ini. Mungkin, tak terlintas sedikit pun bagi keluarga bahwa orang yang dulunya menikah dengan suami pengangguran dan kaki yang pincang dapat hidup sangat berkecukupan (pemilik hotel di Bali beserta proyek di daerah lainnya dan sang istri pemilik travel) seperti saat ini. Awal menikah tak punya rumah. Membeli beras tak mampu. Bahkan beras berganti menjadi kacang hijau agar dapat dimakan sehari-hari. Makan nasi mungkin bisa dihitung jari dalam seminggu. Dari pintu ke pintu mulai berbisnis alat tulis. Dari waktu ke waktu berbisnis kuliner. Tapi semua dilalui dengan semangat dan pantang menyerah. Sabar dalam peluh dan doa. Cemooh dari orang menjadi pemicu agar terus maju pantang mundur.
Suatu hari bu Faizah mengajak saya untuk makan bersama di salah satu mal daerah Kemang. Biaya makan sekian juta dan dibayar dengan uang tunai segepok bikin saya terheran-heran. Belum lagi tips dan uang khusus untuk si pelayan diberikannya tanpa pikir panjang. Bahkan saya diantarnya dengan mobil nginclongnya. Dalam hati saya geleng kepala. Orang seperti apa bu Faizah ini? yang bahkan saya ini bukan apa-apa. Cuman mahasiswa tingkat akhir yang belum punya jabatan dan kuatan.

Hidup sangat berkecukupan tapi tetap merunduk dan tak berlebihan.
Ya, itu yang membuat saya salut pada bu Faizah. Rata-rata orang yang berusia cenderung meremehkan anak muda apalagi menjadikan rekan sebaya. Sangat jarang orang yang seperti itu. Orang yang lebih tua dan mapan akan merasa lebih hebat karena merasa pahit getirnya hidup. Tapi bu Faizah tidak demikian. Dia merangkul seperti rekan dan beri wejangan seperti kawan.
Terlepas dari itu, kesalutan saya terletak pada mental dan hasratnya untuk memulai hidup dengan sang suami. Berani untuk memulai dari nol dengan penuh jerih payah di tengah cemooh dan remehan keluarga. Mendekatkan diri pada sang pencipta namun tak menyerah dalam kondisi terhimpit. Berpikir kreatif dan berjuang dengan niat tulus iklhas. Keluarga. Saya percaya, di balik suami hebat ada pendamping yang hebat. Ya, terima kasih bu Faizah..telah menginspirasi saya dalam memandang hidup.