Sunday, November 11, 2012

Normal: Bagiku, bagimu?

Ada kalanya saya berpikir, sesuatu yang normal layaknya keseharian yang saya jalani. Seperti interaksi dengan orang lain maupun lingkungan baru. Datang berkenalan dan berbincang dengan memulai sesuatu yang ringan. Namun terkadang, hal yang bagi kita normal bisa saja dianggap aneh atau janggal dimata orang lain. Lagi-lagi, kita harus belajar untuk melihat dua sisi dari cara pandang yang berbeda.

Baru beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi sebuah tempat yang nanti akan saya jadikan lokasi skripsi. Tempat itu merupakan tempat yang dijadikan wadah diskusi pada salah satu kalangan. Pemilik organisasi tersebut merupakan kenalan dari dosen saya. Tentu saja, melalui link tersebut saya memperoleh kontak si pemilik organisasi. Berhubung skripsi baru akan digarap tahun depan, saya sudah mulai untuk melakukan pendekatan terhadap informan terlebih dahulu untuk membangun "rapport". Pertama kali saya kesana, saya mengatakan kepada pemilik organisasi bahwa saya akan melakukan penelitian dan untuk saat ini ingin datang berkunjung dahulu.

Hari berikutnya, saya datang bersama seorang rekan untuk datang berkunjung. Kebetulan di sana sedang diadakan kegiatan diskusi. Saya datang sekitar pukul 11 siang di mana kegiatan tengah berlangsung. Di ruangan tengah sedang diadakan kelompok diskusi yang terdiri dari 4 kelompok. Saya datang dan bertemu dengan si pemilik organisasi. Ia mengatakan kepada saya untuk bergabung saja di ruang tengah. Mungkin saya yang salah tangkap atau bagaimana, dengan statement tersebut saya langsung saja bergabung dan berbincang dengan salah satu kelompok. Saya memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksud dan tujuan saya ke sana. Sampai akhirnya waktu istirahat, saya melanjutkan pembicaraan kepada beberapa orang dan berbincang layaknya orang yang mulai akrab.

Beberapa jam di tengah kegiatan, saya izin keluar untuk beribadah. Setelah selesai dan ingin masuk ke dalam ruangan, salah seorang panitia dari kegiatan datang menghampri saya dan mengajak untuk berbincang. Saat itu ia mengatakan bahwa di tengah kegiatan berlangsung saya datang begitu saja dan masuk ke dalam kelompok. Saat di tengah kegiatan saya juga sempat keluar dan dikhawatirkan mengganggu konsentrasi peserta. Istilahnya, saya juga terlihat "sok kenal sok dekat" dengan beberapa orang yang berada di dalam kelompok diskusi. Kasarnya, saya datang begitu saja tanpa surat izin dari fakultas dan masuk ke dalam kelompok. Setidaknya, saya diingatkan untuk tetap mengingat norma dan sopan santun saat masuk ke dalam lingkungan yang baru.

Saat itu, saya tersentak. Menurut saya sangatlah normal untuk melakukan interaksi seperti itu. Datang berkenalan dan masuk ke dalam kelompok. Namun ternyata ada pandangan yang lain, bahwa saya adalah seorang yang baru datang dan tanpa ada aba-aba masuk ke dalam. Apa yang menurut kita sudah sopan, sudah normal, belum tentu sama dengan pandangan orang lain. Sungguh nilai-nilai tersebut relatif maknanya. Sebab itulah, kita perlu banyak belajar dan melihat sebuah kondisi. Apa yang bagi kita normal, belum tentu sama di mata orang lain. Begitu juga Anda kan?

 

Sunday, November 4, 2012

Mencari Rasa yang ke-100

Beberapa minggu belakangan ini, teman-teman yang saya sayangi bermunculan hadir dengan cerita yang sama. Mungkin secara kebetulan, atau entah apa. Berturut-turut saya mendapat sebuah benang merah, dengan cerita dari masing-masing pihak yang beragam. Benang merahnya, tidak lain adalah "putus cinta". Terdengar menggalau atau pasaran di antara kita semua, bahkan bagi orang yang sedang membaca tulisan ini. Tapi saya ingin sekedar "sharing" dan mengungkapkan apa yang saya rasa dan pikirkan.

Adalah sebuah kesamaan antara orang yang jatuh dan sakit cinta. Keduanya adalah BUTA. Seseorang yang demikian sayangnya, akan tertutupi dari rasa yang benar-benar sakit. Partner adalah sosok sempurna di mata. Sebaliknya, seseorang yang sedang merasakan sakit, akan benar-benar buta merasa menjadi orang paling menderita, sial, ataupun apes. Tak jarang pula saya bertemu dengan orang yang mengasihani dirinya karena merasa sakit akan hubungan yang dijalani. Misalnya, "kasian ya gw". Meskipun terdengar ringan, tapi secara implisit menunjukkan bahwa kita sedang mengasihani diri sendiri.

Taukah kita? Bahwa rasa sakit dan senang adalah rasa yang dibuat oleh diri kita sendiri?
Tahukah kita? Bahwa rasa bahagia adalah kita yang menciptakannya?
Tak banyak dari kita, mungkin saya, ataupun Anda yang membaca tulisan ini, menyalahkan orang lain karena merasa sakit ataupun tidak bahagia. Sumber bahagia mengacu pada "setting mind". Bagaimana kita mengatur pola pikir kita sendiri untuk merasa bahagia. Orang lain hanyalah menjadi hingar bingar, sekedar lewat, seperti iklan - intermezzo. Sedangkan kita, adalah pemeran utama yang independen.

Ya, mencari rasa. Seperti halnya mencari partner sampai mendapat rasa yang pas dan klop. Pas rasa manis, asin, asam, pedas, dan segala macam rupanya. Komposisi terasa mantap di lidah dan ingin menetapkannya sebagai rasa yang cocok bagi Anda. Pada akhirnya, ketidaknyamanan dan kesenangan akan rasa-rasa, adalah sebuah "setting mind" yang bermain dalam kepala Anda sendiri.